Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi II DPR Syamsurizal menyatakan dari 31 pasangan calon (paslon) kepala daerah yang diprediksi akan melawan kotak kosong dalam Pilkada 9 desember mendatang, 21 diantaranya dipastikan terwujud. Sementara 10 daerah lainnya masih berpotensi mendapatkan lawan atau tidak terjadi paslon tunggal.
“Yang 10 belum pasti, yang pasti 21,” kata Syamsurizal saat dihubungi, Kamis (13/8/2020).
21 daerah dengan paslon tunggal disebut Syamsurizal diantaranya Kota Semarang, Kota Solo/Surakarta, Kebumen, Blitar, Banyuwangi, Goa, Soppeng, Pematang Siantar, Balikpapan, Gunung Sitoli, Ogan Komilir Ulu Selatan, Nyawi, Wonogiri dan lainnya. Diketahui Pilkada 9 desember mendatang digelar di 27 daerah.
Menurut Syamsurizal, paslon tunggal ini konstitusional. Namun katanya ini berbahaya juga apabila kalah melawan kotak kosong. “Semakin malu dia. Lawan kotak kosong saja kalah, apalagi lawan orang,” ujarnya.
Lebih lanjut politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini memaparkan munculnya paslon tunggal. Pertama, partai politik tidak memiliki dana operasional untuk mendukung calon dari yang partai usung.
“Itu dibutuhkan sementara dana partai kan terbatas. Partai butuh dana besar juga untuk operasional kepentingan partai ke depan dan kader,” jelasnya.
Mantan Bupati Bengkalis ini menambahkan seharusnya partai diberi dana dengan kewenangan dana yang besar. Sehingga ketika penyelenggaran Pilkada dan lainnya tidak perlu dana operasional untuk mendukung calon dari dana calon tapi dari dana APBN.
“Tapi dana APBN kita belum begitu kuat, terpaksa mengambil dana dari calon. Ketika itu terjadi, dari kalangan anggota masyarakat ada yang mampu ada yang tidak mampu. Kalau incumbent mereka mampu karena punya gaji dan sebagainya,” paparnya.
Kedua, kurang sosialisasinya dari pihak terkait, sehingga tidak menimbulkan minat oleh masyarakat untuk ikut Pilkada. Itu terjadi karena pilkada dipandang bukan sesuatu yang menarik, ditambah saat ini banyak kepala daerah tersangkut kasus hukum.
Ketiga, kepala daerah petahana dipandang masyarakat masih layak melanjutkan masa kepemimpinannya. Misalnya, masyarakat sangat butuh karena si petahana sangat berhasil dalam memimpin pembangunan daerahnya sekaligus mensejahterakannya.
“Ini juga menghilangkan anggota masyarakat untuk ikut Pilkada,” ungkapnya.
Solusi
Legislator asal Riau ini pun memberikan solusi atas munculnya peningkatan paslon tunggal. Pertama, partai menjadi tempat menyaring calon terbaik. Sehingga partai tidak mempertimbangkan kepentingan lain karena partai sudah memiliki dana yang cukup.
“Sehingga yang bergantung masalah pendanaan sudah tidak menjadi pertimbangan lagi. Partai hanya mempertimbangkan saja bagaimana calon yang layak untuk memimpin suatu daerah,” terangnya.
Kedua, perubahan sistem pemilihan yang tidak lagi pemilihan langsung tetapi melalui DPRD. Misalnya, kalau masyarakat menghendaki kepala daerah petahana melanjutkan masa kepemimpinannya, maka masyarakat tinggal mencalonkan dan pemilihan hanya simbolis saja di DPRD.
“Ke depannya kita sekedar mengirimkan calon formalitas saja,” katanya.
Ketiga, persyaratan calon independen diperlonggar misalnya tidak terlalu banyak untuk mendapatkan dukungan masyarakat melalui pengumpulan kartu tanda penduduk.
“Ini perlu dipertimbangkan agar demokrasi yang baik,” tuturnya.
(Bie)