Dua putusan hakim Pengadilan Tinggi DKI terkait kasus Jaksa Pinangki dari 10 tahun menjadi 4 tahun dan kasus Djoko Tjndra yang di diskon dari 4,5 tahun menjadi 3,5 tahun, kini terlihat Pengadilan Tinggi DKI punya trend yang berbeda dibandingkan dengan dua kasus sebelumnya yang juga menjadi perhatian masyarakat atas kasus Mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukumannya dari 12 tahun menjadi 15 tahun penjara. Termasuk dalam kasus Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan dengan pidana penjara dari 4 tahun di Pengadilan Negeri menjadi 7 tahun, yang ada pada waktu itu terhadap kasus korupsi majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta trendnya memperberat hukuman.
Terkait putusan Majelis Hakim PT DKI atas kasus Djoko Tjandra yang dikurangi lagi masa hukumanya akibat dari putusan hakim Pengadilan tinggi yang begini makna negara hukum bisa bergeser menjadi negara hukuman diskon.
Hakim dalam perkara ini sudah hilang kepekaan hati nuraninya dan integritas kepribadian hakim dalam rangka menyelamatkan bangsa dan negara dari musuh bersama yang namanya “kejahatan korupsi”, “gawat korupsi” dan gawat kejahatan”.
Ini namanya bersembunyi dibalik kewenangan bahwa putusan penilaian hakim menjadi independensi kehakiman dan mengaburkan asas kepatutan, dan rasa keadilan masyarakat.
Dalam dua kasus yang jadi sorotan publik, yakni kasus Pingaki dan kasus Djoko Tjandra, dimana majelis hakim yang komposisinya sebahagian besar sama ini majelis hakim sepakat untuk mendiskon putusan, karenanya patut dipertanyakan kepekaan nuraninya.
Ini bertentangan dengan sikap dan pertimbangan hukum hakim di Pengadilan Negeri di tingkat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Majelis Hakim melihat bahwa atas perbuatan pelaku merupakan sebab hal-hal yang memberatkan, sehingga dijatuhi hukuman yang maksimal. Anehnya di tingkat banding, fakta perbuatan pelaku yang menjadi halhal yang memberatkan oleh Majelis Pengadilan Tinggi malah di diskon putusannya, argumentasinya kok berlawanan dan terlihat seolah menjadi “pertarungan kewenangan”.
Kalau sudah begini bila pertimbangan hukum sudah diabaikan oleh hakim maka wibawa hukum semakin sangat direndahkan dan merusak lembaga peradilan. Apalagi terkait perbuatan terdakwa yang kejahatan korupsinya dilakukan dengan sengaja oleh pelaku bisnis yang berkolaborasi dengan oknum penegak hukum dalam jabatannya yang menjatuhkan kehormatan lembaga penegak hukum negara, sudah hilang motivasi majelis hakim untuk menegakkan keadilan dan kebenaran dan kehormatan hukum.
Pertimbangan hukum hakimnya menjadi wajib karena hakim harus memberikan penjelasan tentang fakta yang terbukti dan penafsiran hukum yang diberlakukan atas kasus ini, terkesan majelis hakim mengabaikan hal ini.
Karenanya patut diduga ada muatan lain yang nempel pada putusan hakim yang menggeser pertimbangan maupun hal-hal yang memberatkan menjadi hal-hal yang meringankan, sehingga menjadikan putusan ini di diskon.
Ini tragedi tumbangnya keadilan yang kini melanda pada majelis hakim Pengadilan Tinggi dengan memperhatikan beberapa kasus besar yang menarik sorotan publik.
Atau jangan-jangan hakim “korban ketakutan”? Entah itu ketakutan akan kekuasaan atau ketakutan akan motif lain? Akibat putusan yang diskon begini rasa keadilan jadi liar, apa majelis hakim tidak mau tahu bahwa saat ini rakyat pada kebanyakannya sudah lapar keadilan dan haus kebenaran.
Putusan pengadilan seperti begini tidak boleh dibiarkan terus, rakyat merana, dikalahkan terus, semestinya kepada para koruptor ini tidak bisa ditolerir karena perbuatannya tersebut telah menyengsarakan rakyat banyak dan menghianati bangsa.
Azmi Syahputra
Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha)