Jakarta, JurnalBabel.com – Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) DPR RI berpandangan perjuangan melawan fenomena kekerasan seksual belum berakhir. Pasalnya, Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) baru sampai pada menjadi usulan inisiatif DPR. Belum sampai pada tahap meloloskan menjadi Undang-Undang (UU).
Apalagi, pembahasan RUU tersebut telah berjalan selama 10 tahun dan baru kali ini diketok sebagai inisiatif DPR. “Perjuangan tidak sampai di sini. Masih akan masuk tahap pembahasan berikutnya,” kata anggota badan legislasi (Baleg) FPKB, Nur Nadlifah, Selasa (18/1/2022).
Meski demikian, pihaknya berterima kasih kepada semua pihak yang turut mendukung kelolosan RUU TPKS. Ia pun mengajak semua elemen bergerak menjadi garda depan dalam melawan kekerasan seksual.
“Pencegahan dan perlindungan terhadap penyintas kekerasan seksual harus tetap diutamakan. RUU TPKS ini harus kita kawal agar pembahasannya tidak keluar dari koridor,” ujar anggota Komisi IX DPR RI ini.
Juru bicara FPKB untuk RUU TPKS, Neng Eem Marhamah Zulfa Hiz, menambahkan tidak ada alasan untuk menunda RUU TPKS menjadi UU.
“Kami menilai ada situasi sosiologis di masyarakat yang menunjukkan jika terjadi darurat kekerasan seksual. Oleh karena itu FPKB DPR mendesak agar pengesahan RUU TPKS bisa dilakukan dalam sidang paripurna hari ini,” ujar Neng Eem dalam rapat paripurna dengan agenda pembahasan dan pengesahan RUU TPKS di Gedung Nusantara II, Komplek Parlemen, Senayan, Selasa (18/1/2022).
Dia menjelaskan, pengesahan RUU TPKS telah menjadi concern perjuangan dari Fraksi PKB. Sejak pertama kali dijadikan RUU inisiatif DPR tahun 2016 lalu, FPKB selalu bersikap tegas menunjukkan keberpihakkan agar RUU Tersebut segera disahkan.
Kendati demikian, FPKB sadar jika pengesahan RUU TPKS tidak bisa dilakukan sendirian karena harus mendapat persetujuan dari fraksi-fraksi lain DPR.
“Faktanya dinamika pembahasan RUU TPKS ini sangat tinggi karena memang menyangkut cara pandang keyakinan maupun potensi keuntungan elektoral jika RUU ini menjadi polemik di masyarakat. Akibatnya, RUU TPKS sempat terkatung-katung hingga enam tahun terakhir,” katanya.
Situasi mutakhir, kata Eem, menunjukkan jika RUU TPKS mendesak untuk segera disahkan. Rentetan kasus kekerasa seksual yang membuat miris dalam beberapa waktu terakhir muncul ke permukaan.
Kasus dugaan pemerkosaan 13 santri di Bandung, kasus pencabulan belasan siswa oleh oknum guru di Cilacap, Jawa Tengah, hingga pelecehan seksual oleh oknum dosen di Palembang menghenyak kesadara publik jika tindak pidana kekerasan seksual itu memang nyata adanya.
“Berdasarkan data Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2011 hingga 2019 mencatat 46.698 kasus kekerasan seksual yang terjadi di rumah tangga/personal dan di ranah publik terhadap perempuan. Rata-rata setiap tahunnya terjadi 5.000 kasus kekerasan seksual,” tuturnya.
Anggota Baleg DPR ini mengungkapkan ada dampak sangat serius terjadi bagi mereka yang menjadi korban kekerasan seksual. Mereka bisa mengalami kondisi traumatik yang berlangsung hingga seumur hidup.
Selain itu, terkadang korban kekerasan seksual menerima hukuman sosial dari lingkungan karena dinilai sudah ternoda. Situasi ini membuat para korban kekerasan seksual menjadi korban berkali-kali.
“Ibaratnya mereka ini sudah jatuh tertimpa tangga pula. Dan FPKB menilai memang belum ada payung komprehensif untuk melindungi para korban maupun melakukan upaya preventif yang lebih optimal,” paparnya.
Dengan adanya pengesahan RUU TPKS ini, berbagai potensi kekerasan seksual bisa diredam sejak dini. Para korban juga bisa bersuara lantang karena dalam RUU TPKS ini telah menyediakan mekanisme pelaporan yang berorientasi pada perlindungan korban.
“Beberapa jenis kekerasan seksual yang sebelumnya tidak terakomodir dalam berbagai UU yang eksisting, terakomodir dalam RUU TPKS. Jadi kami berharap pengesahan RUU TPKS ini benar-benar menjadi babak baru terhadap upaya perjuangan melawan fenomena kekerasan seksual yang terjadi di tengah masyarakat kita,” pungkas anggota komisi V DPR ini. (Bie)