JurnalBabel.com – Permasalahan pemberangkatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) non-prosedural melalui ‘jalur tikus’ di Batam, Kepulauan Riau, mendapat perhatian dari Komisi IX DPR RI.
Anggota Komisi IX DPR, Irma Suryani Chaniago, menilai terdapat hal kontraproduktif dalam proses keberangkatan PMI dari wilayah Kepri ke Singapura maupun Malaysia. Pasalnya, salah satu syarat agar PMI dapat berangkat bekerja ke luar negeri adalah memiliki paspor, sementara salah satu pejabat di Pemerintah Provinsi Kepri menyebutkan tidak ada satupun orang yang membuat paspor untuk bekerja ke luar negeri dan PMI itu tidak diberangkatkan dari Kepri.
“Kalau dibilang tidak ada yang membuat paspor di (Kepri) sini, ini kontraproduktif. Di satu sisi tenaga kerja yang unprocedural di Malaysia jauh lebih banyak dari yang prosedural, mereka (berangkat) lewat mana? Oleh karena itu, BP2MI itu turunannya di daerah ada BP3MI, tetap harus berkesinambungan. Yang tidak terjadi adalah koordinasi pusat dan daerah, sehingga kejadian seperti di Kamboja (penyekapan PMI) menjadi pembelajaran bagi pemerintah. Ada koordinasi yang terputus antara pusat dan daerah, sehingga banyak tenaga kerja di daerah yang tidak memahami kalau berangkat unprocedural itu berbahaya,” kata Irma Suryani dalam kunjungan kerja reses Komisi IX DPR di Batam, Kepri, Senin (8/8/2022).
Politisi Partai NasDem itu mengingatkan, BP2MI harus berkoordinasi dengan kepolisian, pemerintah daerah hingga TNI untuk menjaga ‘jalur tikus’ yang kerap menjadi jalan ilegal pemberangkatan PMI.
Menurutnya, jika hal itu tidak dilakukan, maka akan percuma. Ia mengaku, Komisi IX DPR RI pernah melaksanakan kunjungan kerja ke Malaysia, dan menemukan bahwa jumlah pekerja Indonesia yang non-prosedural lebih banyak daripada yang prosedural.
Irma menduga Pemerintah Malaysia membiarkan ini karena PMI yang unprocedural bisa dibayar dengan honor yang lebih murah, sehingga mereka lebih untung.
“Inilah yang harus diselesaikan. Koordinasi antar kementrian dan antar institusi harus ditingkatkan lagi, jangan sampai putus. Kemarin saya juga sempat bilang, anggaran BP2MI memang harus ditambah. Saat ini hanya Rp300-an miliar dan menurut saya kecil. Jadi memang harus ditambah, kemudian anggaran untuk pendidikan skill tenaga kerja di Kementrian Pendidikan dipindahkan sebagian ke Kementerian Ketenagakerjaan. Sehingga pendidikan vokasi dan keahlian itu bisa lebih banyak dilakukan oleh Kemnaker,” saran Irma.
Di sisi lain, Irma menilai keberadaan Balai Latihan Kerja (BLK) baru sebatas pendidikan vokasi yang belum bisa menjadi jawaban dari kebutuhan pasar tenaga kerja Indonesia yang butuh skill dengan kuota yang banyak.
Menurutnya, pasar tenaga kerja Indonesia di luar negeri terbuka lebar tetapi rata-rata terbentur pada kemampuan bahasa para calon PMI. Hal ini yang menjadi akar masalah dalam PMI bersaing dengan tenaga kerja dari negara lain. Sehingga Irma mengusulkan agar sebagian anggaran penddikan di Kemendikbud Ristek sebagian dipindahkan ke Kemnaker untuk dillakukan pendidikan bahasa.
“Kalau kita tidak kalah di bahasa, lapangan kerja di luar negeri itu terbuka lebar. Government to government (G2G) kita aman, bahkan sangat aman. Hubungan bilateral kita melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi saat ini menurut saya paling bagus dan bertanggung jawab. Inilah saatnya untuk kita mengirim tenaga kerja Indonesia ke luar negeri secara bertanggungjawab dan memiliki skill, sehingga dapat bersaing di pasar tenaga kerja internasional,” tandas legislator daerah pemilihan (dapil) Sumatera Selatan II tersebut. (Bie)
Sumber: dpr.go.id