Jakarta, JurnalBabel.com – Sidang lanjutan materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (9/11/2022). Hadir dalam sidang tersebut, Anggota Komisi III DPR Supriansa memberikan keterangan DPR.
Supriansa dalam keterangannya terkait Perkara Nomor 80/PUU-XX/2022, menyebut perwujudan kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui pemilu. Pemilu merupakan sarana bagi rakyat untuk memilih melalui pemilihan presiden dan wakil presiden yang dipilih dalam satu pasangan secara langsung, serta memilih wakilnya yang menjalankan fungsi kedaulatan, menyalurkan aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai dasar bagi semua pihak pada negara Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi masing-masing.
Menurutnya, sesuai ketentuan Pasal 22E UUD 1945, pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, anggota DPD serta anggota DPRD, menggunakan asas langsung, jujur, bebas, umum, rahasia dan adil setiap lima tahun sekali. Sementara berdasarkan ketentuan Pasal 28 Ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak memiliki kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
“Untuk menjamin hak setiap warga negara tersebut, maka pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD dilaksanakan guna menjamin prinsip keterwakilan yang artinya setiap warga negara Indonesia dijamin memilih wakil yang duduk di lembaga perwakilan yang akan menyalurkan aspirasi rakyat di setiap tingkatan pemerintahan dari pusat hingga daerah,” ujar Supriansa.
Lebih lanjut anggota badan legislasi (Baleg) DPR ini menjelaskan, pemilu yang diselenggarakan secara langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil merupakan hal yang dapat dipercaya dan menjalankan fungsi kelembagaan legislatif secara optimal. Penyelenggaraan pemilu yang baik dan berkualitas akan meningkatkan kompetisi yang sehat, partisipasi dan keterwakilan serta dapat dipertanggungjawabkan.
Selain itu, politisi Partai Golkar ini juga menerangkan pengaturan UU pemilu bertujuan untuk mewujudkan pemilihan umum langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil, maka proses penataan daerah pemilihan (Dapil) anggota legislatif dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang diatur dalam UU pemilu, yakni kesetaraan nilai suara dalam upaya meningkatkan nilai suara yang setara antara dapil yang satu dengan dapil yang lainnya dengan prinsip satu orang satu suara satu nilai.
“Ketaatan sistem pemilu yang proporsional adalah ketaatan dalam pembentukan daerah pemilihan dengan mengutamakan jumlah kursi yang diperoleh partai politik,” jelas Supriansa.
Sebagai informasi, dalam permohonan Pemohon menyatakan urgensi penyusunan daerah pemilihan harus memenuhi prinsip daulat rakyat dan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Sebab, pemilihan umum merupakan sarana untuk mengejawantahkan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945.
Penyusunan daerah pemilihan tersebut juga menjadi salah satu tahapan yang penting di awal proses penyelenggaraan pemilihan umum. Hal ini guna memastikan prinsip keterwakilan yang dilakukan melalui proses pemilihan umum sesuai dengan prinsip pemilu yang jujur, adil, proporsional, dan demokratis.
Pemohon juga menyatakan pembuktian penyusunan daerah pemilihan bertentangan dengan prinsip dan alokasi kursi DPR dan DPRD Provinsi yang diatur dalam norma tersebut.
Prinsip utama seperti keseteraan nilai suara, ketaatan pada sistem pemilu yang proporsional tersebut membatasi ruang realokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan baru untuk Pemilu DPR dan DPRD di Daerah Otonom Baru. Norma ini, mengatur jumlah alokasi kursi dan batas-batas wilayah dalam suatu daerah pemilihan DPR ke dalam lampiran III, namun tidak mengatur mekanisme pembentukan daerah pemilihan untuk daerah otonomi baru.
Untuk itu, dalam Petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan yang dimohonkan oleh pemohon untuk seluruhnya. Serta menyatakan Pasal 187 ayat (1) UU Pemilu berbunyi, “Daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi, kabupaten/kota, atau gabungan kabupaten/kota” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi, kabupaten/kota, atau gabungan kabupaten/kota yang penyusunannya didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 185”.
Menyatakan Pasal 187 ayat (5) UU Pemilu berbunyi, “Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan pemilihan anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari undang-undang ini” bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai “Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan KPU”. (Bie)
Sumber: mkri.id