Jakarta, JurnalBabel.com – Ketua Komisi VIII DPR, Ashabul Kahfi, menyatakan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Quomas perlu melakukan klarifikasi temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait titik rawan korupsi penyelenggaraan Ibadah Haji pada 2019 yang berpotensi timbulkan kerugian negara sebesar Rp 160 milliar.
Hal tersebut dikatakan Ashabul Kahfi saat rapat kerja Komisi VIII DPR dengan Menag di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (19/1/2023).
Menurut Ashabul, klarifikasi tersebut perlu dilakukan karena sudah beredar di media dan diinformasikan oleh KPK. Namun, ia menyerahkan klarifikasi tersebut kepada Menag dilakukan secara terbuka atau lainnya.
“Beberapa waktu yang lalu muncul pemberitaan di media yang mungkin apakah perlu disikapi secara terbuka apa seperti apa,” kata Ashabul Kahfi.
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini menambahkan informasi media dan temuan KPK tersebut perlu diteliti oleh Menag dan jajarannya.
“Karena informasi ini dari media yang perlu tabbayun, masih perlu klarifikasi terkait adanya indikasi kerugian negara yang relatif cukup tinggi Rp 160 miliar pada 2019. Ini indikasi yang disampaikan oleh KPK,” ujarnya.
Cermin PerbaikanĀ
Menanggapi hal itu, Menag Yaqut Cholil Qoumas mengatakan hal itu menjadi cerminan bagi jajaran Kemenag untuk memperbaiki pengelolaan dana haji ke depan.
“Dari potensi mark up Rp160 miliar itu menjadi pukulan buat kami sekaligus cermin agar kita memperbaiki meskipun itu terjadi di tahun 2019,” kata Menag Yaqut.
Dia menegaskan setelah ini urusan pelayanan haji tidak boleh main-main.
“Tapi penting semacam warning bagi kami seluruh staf di PHU untuk tidak main-main dalam urusan pelaksanaan pelayanan jemaah haji,” tegasnya.
Oleh karena itu, Menag Yaqut telah menginstruksikan Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU), Hilman Latief untuk membuat aplikasi yang dapat diakses oleh jajaran Kemenag. Terutama terhadap pelayanan jemaah haji Indonesia ke depan.
“Kita akan mencoba Pak Dirjen PHU membuat aplikasi yang bisa kita akses dan memberikan kontrol terhadap pelayanan jemaah haji kita,” ujarnya.
Sebelumnya, KPK mendeteksi sejumlah titik rawan korupsi dalam penyelenggaraan haji. Perbaikan sistem pun dikedepankan agar titik rawan itu tidak lantas menjadi bom waktu.
Berdasarkan kajian Direktorat Monitoring KPK bertajuk ‘Pengelolaan Keuangan Haji’ tahun 2019, terpotret beberapa pos titik rawan korupsi pada penyelenggaraan haji di Indonesia, salah satu contohnya markup biaya akomodasi, penginapan, biaya konsumsi, dan biaya pengawasan haji. Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan hal-hal ini perlu dicarikan solusinya.
“Faktanya menunjukkan ada perbedaan harga mulai dari biaya inap, itu cukup tinggi, termasuk biaya makan dan biaya pengawasan haji. (Berpotensi) timbul kerugian negara Rp 160 miliar waktu itu,” kata Firli dalam keterangannya, Jumat (6/1/2023).
Hal itu disampaikan Firli dalam audiensi bersama Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis (5/1).
Selain itu, KPK juga menemukan permasalahan yakni penetapan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) tidak sesuai ketentuan dan berpotensi menggerus dana pokok setoran Jemaah. Di mana KPK menyebutkan sebagai contoh, pada tahun 2022, BPIH per satu orang Jemaah ialah Rp 39 juta dari biaya riil seharusnya Rp 98 juta per satu orang.
“Kalau ada masalah di kemudian hari, peluang, atau rentan korupsi harus diperbaiki sistemnya,” ujar Firli.
(Bie)