Jakarta, JurnalBabel.com – Perbedaan hari raya Idul fitri atau Lebaran bagi masyakarat muslim Indonesia bukan sebuah hal baru lantaran telah terjadi berulang kali. Terlebih, perbedaan dalam Islam adalah sunatullah dan tak mungkin dihindari sebagai hukum sosial.
Demikian dikatakan Ketua Komisi VIII DPR, Ashabul Kahfi kepada wartawan, Rabu (19/4/2023), menanggapi potensi perbedaan hari raya Idul Fitri 1444 H atau Lebaran 2023 Muhammadiyah, NU dan pemerintah bisa terjadi.
Muhammadiyah menetapkan Lebaran Idul Fitri atau 1 Syawal 1444 H pada 21 April, sementara pemerintah melalui Kemenag baru akan menggelar sidang isbat Kamis (20/4/2023) atau bertepatan dengan 29 Ramadhan 1444 H.
Menurutnya, hal yang dibutuhkan saat ini adalah sikap arif dan bijaksana terhadap perbedaan tersebut dengan saling menghormati dan menghargai atas setiap perbedaan yang ada.
“Hadirnya perbedaan dengan sikap kearifan akan menghadirkan keindahan dalam kehidupan sosial,” kata Ashabul sapaanya, Rabu,(19/4/2023).
Ia juga menghimbau, kepada seluruh umat Islam untuk kembali pada keyakinan masing-masing tanpa menganggu dan mengusik keyakinan orang lain.
“Hal yang utama adalah bagaimana nilai-nilai pendidikan dari madrasah ruhaniah Ramadhan kita bumikan pasca Ramadhan sehingga menjadi nilai karakter kebangsaan,” jelasnya.
Lebih lanjut politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini mengingatkan soal ajaran Islam yakni ijtihad di tengah potensi perbedaan tersebut.
Ia menjelaskan, ijtihad merupakan satu kegiatan yang mengarahkan kemampuan pengetahuan dan akal guna memecahkan satu problem dalam isu keagamaan.
“Penentuan awal Ramadhan dan Syawal yang melahirkan dua metode yakni hisab dan ru’yat merupakan bagian dari proses ijtihad yang produknya mendapatkan legitimasi dari agama,” pungkasnya.
(Bie)