Tidak Penuhi Unsur Pidana, Prof Suparji Sarankan Kasus Firli Bahuri Dihentikan
Jakarta, JurnalBabel.com – Guru Besar Hukum Pidana, Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Prof Suparji Ahmad, menyarankan agar kasus eks Ketua KPK Firli Bahuri yang diduga memeras mantan Mentan Syahrul Yasin Limpo (SYL) dihentikan. Pasalnya, kasus tersebut belum memenuhi unsur pidana.
Menurut Suparji, penanganan perkara Firli Bahuri ini sudah terlalu lama, namun ketika berkas perkaranya sudah dianggap rampung, malah dikembalikan lagi oleh Jaksa kepada penyidik Polda Metro Jaya. Jaksa menilai kasus tersebut belum memenuhi unsur pidana yang disangkakan
“Ya artinya, memang tidak ada atau tidak cukup bukti atau tidak ada alat bukti gitu loh tentang pemenuhan unsur-unsur tadi itu,” ujar Prof Suparji Ahmad dalam keterangan persnya, Senin, (12/8/2024).
Suparji menjelaskan, secara logika, seharusnya alat bukti yang akan digunakan penyidik untuk memenuhi syarat materiil itu sudah terkumpul dan ada sejak awal kasus Firli Bahuri bergulir.
“Semua kan sudah diperiksa, ternyata kan juga tidak ada alat buktinya gitu loh. Jadi artinya apa?, perkara ini memang tidak ada alat bukti yang mendukung pemenuhan unsur, baik pasal suap, gratifikasi maupun pemerasan,” ungkap Suparji.
Suparji mengatakan, penyidik Polda Metro Jaya pasti sudah memeriksa alat bukti berdasarkan pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berkaitan dengan kasus Firli, mulai dari surat-surat, saksi-saksi, ahli, bahkan keterangan dari pelapor maupun terlapor.
“Tapi ternyata kan penyidik belum mampu mengumpulkan alat bukti yang cukup memenuhi unsur materiil. Ini menunjukkan bahwa alat bukti yang ada itu tidak memenuhi syarat materiil dalam konteks tindak pidana yang disangkakan,” jelasnya.
Suparji menilai, pengembalian berkas perkara Firli Bahuri kepada penyidik Polda Metro Jaya karena merujuk pada Putusan MK Nomor 21 Tahun 2014 tentang Alat Bukti. Dalam konteks putusan MK 21 2014 alat bukti harus memenuhi unsur kualitas dan kuantitas gitu.
“Jaksa sepertinya berpandangan bahwa alat bukti materiil itu adalah dari sisi kualitas gitu,” katanya.
Suparji mengatakan, Jaksa berpandangan tidak hanya sekedar memeriksa saksi, ahli, surat, petunjuk atau keterangan terhadap tersangka. Tapi alat bukti harus berkesesuaian antara satu dengan yang lain.
“Saksi harus berkesesuaian dengan saksi yang lain, alat bukti juga harus berkesesuaian dengan tidak pidananya gitu loh,” ujarnya.
Sehingga, kata Suparji, Jaksa menilai alat bukti yang ada atau yang telah dikumpulkan penyidik selama ini hanya sekadar kuantitas saja, tapi secara kualitas belum terpenuhi.
“Jadi tidak ada korelasi dan relevansi dengan perkara yang sedang diperiksa gitu loh, sekedar alat bukti saja gitu,” ujarnya.
Suparji menekankan asas hukum pidana adalah mencari kebenaran materiil. Jadi, jika syarat atau unsur materiilnya tidak dapat terpenuhi, maka tidak akan ada kebenaran materiil yang ditemukan.
“Makanya ya, jika mempertimbangkan bahwa hukum pidana itu mencari kebenaran materiil yang didukung dengan alat bukti secara materiil, kalau itu tidak ada ya tidak bisa dilanjutkan perkaranya,” katanya.
Suparji menegaskan, demi kepastian hukum dan keadilan, harus ada langkah-langkah hukum yang konkret untuk menyatakan bahwa perkara yang menjerat Firli Bahuri tidak bisa dilanjutkan.
“Makanya demi keadilan, demi kepastian hukum, maka mekanisme yang ada dalam KUHAP, ketika tidak cukup alat bukti, maka harus dihentikan gitu loh. Harus keluar Surat Penghentian Penyidikan gitu loh,” tegasnya.
Kata Suparji, jika penyidik Polda Metro Jaya tetap mau melanjutkan kasus Firli Bahuri, maka dia tidak yakin akan berhasil dan sukses memenuhi syarat materiil yang diarahkan oleh Kejati DKI Jakarta. Sebab, semua petunjuk, alat bukti dan saksi-saksi sudah diperiksa secara maraton, namun masih tetap belum memenuhi syarat materiil kasusnya.
“Jadi petunjuk Jaksa misalnya untuk memenuhi alat bukti secara materiil tadi itu, ya gimana caranya gitu loh?,” ujar Suparji.
Menurutnya, saksi yang diperiksa adalah saksi yang sama. Kalaupun ada saksi lain tapi tidak ada korelasinya, tidak relevan.
“Alat buktinya juga begitu, tidak relevan, tidak berkualitas. Jadi itulah, karena tidak cukup alat bukti materiil, konsekuensinya adalah dihentikan penyidikannya,” pungkas Suparji.