Jakarta, JurnalBabel.com – Pengamat politik Indonesia Public Institute (IPI), Karyono Wibowo, menilai kualitas demokrasi dan keadilan di Indonesia dapat meningkat jika diberikan waktu yang cukup bagi para pihak untuk mempersiapkan bukti dan argumen dalam sengketa pemilu.
“Sistem dismissal yang terlalu terburu-buru bisa mengorbankan keadilan substantif, terutama jika ada bukti baru yang ditemukan setelah putusan awal dijatuhkan,” kata Karyono, kemarin.
Karyono mengacu pada teori Electoral Justice System yang menekankan bahwa sistem peradilan pemilu harus menjamin semua tahapan berlangsung dengan prinsip keadilan, integritas, dan transparansi.
Dalam konteks ini, penyelesaian sengketa pemilu yang adil membutuhkan waktu yang cukup untuk pengumpulan dan pemeriksaan bukti.
Terbatasnya waktu pembuktian ini menjadi salah satu faktor penghambat untuk menghasilkan keputusan yang adil.
Selain itu, secara implisit, MK juga menjadikan pertimbangan selisih suara yang dinilai jauh menjadi dasar pertimbangan untuk membuat putusan. Jika hal itu tidak diubah maka tipis harapan untuk menegakkan keadilan substantif.
Dua faktor tersebut banyak dikeluhkan para pencari keadilan pemilu (electoral justice). Jika masalah tersebut tidak diperbaiki maka stigma MK sebagai Mahkamah Kalkulator semakin melekat di benak publik.
“Mungkin sebentar lagi Publik akan menjuluki MK mirip sopir angkot yang sedang mengejar waktu untuk mendapatkan setoran,” tegas Karyono.
Untuk mengatasi permasalahan ini, ia mengusulkan beberapa perbaikan sistemik dalam penyelesaian sengketa pemilu di MK.
Pertama, diperlukan evaluasi terhadap tenggat waktu dan mekanisme dismissal. Tenggat waktu pengajuan permohonan perlu diperpanjang agar kandidat memiliki cukup waktu untuk mengumpulkan bukti.
Selain itu, sistem dismissal harus lebih fleksibel, terutama jika ditemukan bukti baru yang substansial setelah putusan awal.
Kedua, MK perlu membuka ruang hukum lanjutan bagi pencari keadilan yang memperoleh bukti baru setelah dismissal. Salah satu solusinya adalah menerapkan sistem Electoral Review seperti yang digunakan di beberapa negara seperti Jerman, India, dan Kenya.
“Dalam sistem ini, putusan sengketa dapat ditinjau ulang jika ada bukti baru yang signifikan dan dapat mengubah hasil pemilu,” kata Karyono.
Ketiga, perlu adanya mekanisme hukum lanjutan di MK, misalnya melalui pengajuan bukti tambahan dalam tenggat waktu khusus. MK dapat memberikan masa tenggang (grace period) bagi pemohon yang menemukan bukti baru setelah putusan dismissal.
Selain itu, perlu dipertimbangkan mekanisme banding atau peninjauan kembali (PK) di MK. Diakui Karyono, saat ini, putusan MK bersifat final dan mengikat, tetapi dalam kasus tertentu seperti pemalsuan dokumen atau bukti baru yang substansial, seharusnya ada ruang untuk peninjauan kembali seperti dalam sistem peradilan umum.
Karyono selanjutnya mengkritik sistem speedy trial atau peradilan cepat yang diterapkan di MK dalam sengketa Pilkada. Speedy trial dapat mengarah pada keputusan yang terburu-buru tanpa pemeriksaan yang cermat dan mendalam.
“Proses peradilan yang terburu-buru dapat mengorbankan keadilan substantif, di mana keputusan yang diambil bisa jadi tidak mencerminkan kebenaran yang terjadi di lapangan,” pungkasnya.