Jakarta, JurnalBabel.com – Guru besar ilmu hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Prof. Suparji Ahmad, menyarakan Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) harus segera disahkan menjadi UU oleh pemerintah dan DPR.
Pasalnya, Prof Suparji mengibaratkan KUHAP adalah sebuah menu makanan yang tentunya harus ada cara bagaimana memakannya, menghidangkannya, menyantapnya, dan lain sebagainya. Maka cara melaksanakannya, menegakkannya, yang kemudian disebut sebagai hukum acara pidana. Mengingat materinya sudah berubah, maka acaranya juga harus berubah.
“Untuk itu lah diperlukan perubahan dalam kitab undang-undang hukum acara pidana, yang utamanya dalam rangka menyesuaikan KUHAP Nasional Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023,” kata Prof. Suparji dalam sebuah diskusi, kemarin.
Menurut Suparji, isu strategis dalam konteks KUHAP yang paling mendasar adalah bagaimana menciptakan kolaborasi antar penegak hukum. Khususnya, menerapkan teori kolaboratif fungsional system.
“Bagaimana sistem yang mengolaborasikan tentang fungsi. Bahwa jangan sampai ada persaingan antarpenegak hukum,” ujarnya.
Suparji Ahmad mencatat beberapa hal yang urgen terkait pasal dalam RKUHAP. Antara lain, akan diberlakukan mulai 2 Januari 2026, RKUHAP yang baru mengedepankan rehabilitasi bagi narapidana sehingga meminimalisir anggaran negara dan bisa dialihkan untuk program Makan Bergizi Gratis (MGB).
Kemudian, dalam RKUHAP yang baru akan ada penambahan alat bukti selain saksi, surat, petunjuk, keterangan ahli, keterangan saksi, keterangan terdakwa. Termasuk, alat bukuti elektronik yang berkaitan dengan penyadapan.
Lalu, subjek penyidik ada polisi, sipil, penyidik tertentu, dan mestinya penyidik tunggal hanya Polri. Selanjutnya, penasehat hukum bisa mendampingi terlapor dan saksi, serta dalam RUU KUHAP harus ada kolaborasi antara penegak hukum agar tidak menimbulkan persaingan.