Jakarta, JurnalBabel.com – Pasca Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal, DPR bersama pemerintah memiliki kewajiban untuk mengubah atau merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.
Hingga kini, revisi UU Pemilu belum dibahas oleh pemerintah dan DPR. Khususnya DPR yang saat ini sedang memasuki masa reses hingga pertengahan Agustus ini.
Partai Buruh yang merupakan partai politik diluar parlemen memiliki hak untuk memberikan masukan atas revisi UU Pemilu ini. Setidaknya, Partai Buruh menyebut sedikitnya ada 6 isu penting yang perlu dibuat pengaturan baru dalam materi revisi UU Pemilu.
Pertama, Pemilu nasional dan Pemilu lokal wajib dipisahkan waktu penyelenggaraannya berdasarkan perintah MK melalui putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, yaitu Pemilihan Anggota DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota, hanya boleh digelar secara serentak dua tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pelaksanaan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI, DPD RI secara serentak pada 2029.
“Terkait isu ini, Partai Buruh dengan tegas akan menolak segala bentuk deviasi atau rekayasa aturan, kecuali pengaturan sebagaimana yang telah diperintahkan Mahkamah Konstitusi,” tegas Wakil Presiden Partai Buruh, Said Salahudin, dalam siaran persnya, kemarin.
Kedua, Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota, harus dipilih secara langsung oleh rakyat berdasarkan sedikitnya 3 putusan MK.
Pertama, Putusan Nomor 55/PUU/XVII/2019 yang menetapkan Pilkada sebagai salah satu jenis pemilihan langsung yang dapat diserentakkan pelaksanaannya dengan Pemilu.
Kedua, Putusan Nomor 85/PUU/XX/2022 yang menentukan Pilkada sebagai bagian rezim Pemilu dengan dengan cara pemilihan langsung oleh rakyat.
Ketiga, Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang menentukan Pilkada yang dipilih secara langsung oleh rakyat, dilaksanakan penyelenggaraannya secara serentak dengan Pemilu Anggota DPRD.
“Terhadap isu ini, Partai Buruh menolak segala bentuk upaya untuk mengembalikan sistem Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota dengan menggunakan mekanisme pemilihan melalui DPRD seperti yang pernah dilakukan di masa lalu,” jelas Said.
Ketiga, penghapusan ambang batas pencalonan Presiden berdasarkan putusan MK Nomor 62/PUU/XXII/2024.
“Perintah MK dalam putusan tersebut sudah sangat jelas, yaitu partai politik yang telah ditetapkan sebagai peserta pemilu, baik sendiri-sendiri atau dengan cara berkoalisi dapat mengusulkan pasangan Capres-Cawapres di Pemilu 2029 tanpa dikenakan syarat ambang batas pencalonan,” terang Said.
Keempat, aturan ambang batas penentuan kursi DPR atau Parliamentary Threshold yang berdasarkan putusan MK Nomor 116/PUU/XXI/2023, telah diperintahkan MK agar besarannya diturunkan dibawah angka 4 persen dari total suara sah secara nasional.
Kelima, pengaturan verifikasi parpol calon peserta pemilu 2029, yang dalam pandangan Partai Buruh harus ditetapkan secara langsung oleh MK. Sebab, aturan verifikasi selama ini tidak diatur tegas dalam UU Pemilu.
“Permasalahan tersebut pada ujungnya memunculkan gejolak politik dan aksi saling gugat antar Parpol dan penyelenggara Pemilu,” ungkap Said.
Keenam, pengaturan syarat pencalonan dalam Pilkada. Oleh karena pasangan calon Gubernur, Bupati, Wali Kota menurut MK harus dipilih secara langsung oleh rakyat.
“Maka dengan mencermati perkembangan hukum Pemilu pasca sejumlah putusan MK, Partai Buruh berpandangan perlu adanya pengaturan baru mengenai syarat ambang batas pencalonan kepala daerah, dengan meninjau Putusan MK Nomor 60/PUU/2024,” ujar Said.
“Jika mengusulkan Presiden dan Wakil Presiden saja MK menyatakan tidak diperlukan syarat ambang batas pencalonan, maka menurut penalaran yang wajar dalam pengusulan calon kepala daerah pun tidak diperlukan adanya syarat ambang batas pencalonan,” pungkas Said.