Manusia menghabisi sebagian besar waktunya dalam sehari untuk berkomunikasi. Begitu banyak cara manusia berkomunikasi. Baik melalui komunikasi verbal, maupun komunikasi non verbal, manusia terlihat begitu sanggup menyuguhkan kekuatan komunikasi antar personal. Bahkan tidak hanya itu. Pada jaman now, komunikasi yang dilakukan manusia adalah komunikasi massa.
Asumsi di atas terlihat pada realitas bahwa sebagian besar waktu dihabisi “manusia kampung global” adalah bersama medsos, membaca WhatsApp, dan lain-lain. Tidak heran, dunia menjadi gaduh walaupun, siapapun sessungguhnya sedang sendiri dan kerap berpersepsi sesamanya adalah anonym . Sebab, ia berhadapan dengan realitas maya. Derap fenomena seperti ini mengkomunikasikan pesan bahwa setiap pribadi pun tidak menjadi unik. Setiap pribadi dituntut menjadi menjadi jamak, grasa grusuk.
Sampai pada kecenderungan realitas seperti ini, relasi sosial terpenjara oleh kultus dan trend peniruan. Siapapun berusaha menjalankan hidup sebagai proses indentifikasi. Di mana-mana selfie menjadi lebih penting dari etika berkomunikasi. Di panggung manapun, komunikasi antar pribadi, antar kelompok, dan antar budaya jika terjadi tanpa selfie maka kontruksi berkomunikasi itu belum dinyatakan sah.
Lantas komunikasi antar kelompok pun tercipta hanya secara simbolik dan narsistik, tanpa ada kesejatian yang didapatkan. Tanpa kesejatian dalam berkomunikasi, realitas palsu pun menjadi-jadi. Apalagi realitas palsu itu dikonstruksi secara ilmiah, ada landasan teorinya, dan ukuran metodologinya. Hoaks pun tidak terhindarkan. Kebencian menjadi penyakit yang melumpuhkan struktur ketetanggaan dan komunio umat manusia.
Tuhan “blusukan,” Berkomunikasi secara personal
Di tengah kegaduhan kontruksi realitas buatan dan fenomena hoaks itu, bagaimanakah Tuhan berkomunikasi dengan manusia jaman now yang lebih layak disebut khalayak dan nitizen itu? Allah tetaplah seorang pribadi. Ia pun melakukan komunikasi secara personal dengan manusia, entah itu manusia jaman old maupun jaman now. Ia menyatakan diriNya sebagai Sabda yang menjadi Manusia.
Dialah Tuhan yang “blusukan” ke dunia yang penuh dengan kegelapan. Dalam kegelapan ada ketakutan, seperti negeri ini akan punah, dan lain-lain. Melalui blusukan dari ke rumah-ke rumah, mengetuk dari satu pintu ke pintu yang lain, Tuhan mau mendengarkan (responsiveness). Ia datang kepada dan mau mendengarkan kita, tetapi kita menutup kita. Bisa saja karena ia dari kelompok lain. Ia tidak seagama dengan saya. Ia lebih konclong dari saya, dan alas an-alasan subyektif lainnya.
Melalui Penyataan DiriNya saat Natal ini, Tuhan memberi ruang bagi Pengungkapan DiriNya. Dia menyebut diriNya sebagai sahabat bagi kita. Apa gunanya Dia menjadi sahabat bagi manusia, jika Ia tetap abstrak, atau transenden. Juga akan menjadi menjadi kurang logis jika, Ia menyebut diri sahabat tetapi Dia tetap di zona nyaman ke-AllahanNya, dan tidak turun untuk blusukan dan merangkul semua bangsa.
Penyataan DiriNya adalah komunikasi antar pribadi Allah dan manusia, yang terjadi begitu sederhana. Mempunyai nilai berita, tetapi framingnya tidak dipaksakan. Karena Ia tidak mau menonjolkan diri. Ke-AllahanNya bergerak dalam diam. Yusuf dan Maria pun tidak protes kepada komisi Hak Asasi Manusia (HAM) karena putera mereka dilahirkan di kandang hina.
Spiral KebisuanNya Mengangkat yang Kecil
Lalu, dibungkusnya anak itu dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan. Teks ini memberi pesan bahwa Ia hadir dalam wajah orang kecil, sederhana, bahkan diberi akses untuk merasa indahnya sebuah penginapan.
Pesan ini pun segaris dengan kehadiran Malaikat yang memotivasi para gembala untuk tidak takut. Para gembala ini, tidak lain adalah representasi orang kecil yang selalu berhadapan dengan ketidakpastian struktur sosial. Kepada mereka, Allah hadir melalui Malaikat untuk berseru “jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar seluruh bangsa.
Melalui malam yang sunyi, Ia mengkomunikasikan pesan perdamaian. Ia mengangkat orang asing untuk menjadi warga pribumi dari bangsa. Ia menghadirkan sukacita baru, Allah beserta umat manusia. Pesan yang bisa ditafsirkan oelh gembala-gembala yang berjaga di padang, jangan takut, sebab Allah besertamu.
Saya pun teringat pada teori Spiral of Silence, yang diungkapkan oleh Elisabeth Noelle-Neuman. Dalam asumsi ini, kawanan kecil dalam kehidupan social cenderung takut menungkapkan opini dan persepsinya. Sedangkan kawanan yang nyaman dan besar akan begitu mudah mengemukakan opini dan persepsinya. Kelompok mana yang secara kuantitatif lebih sering mempercakapkan persepsinya, merekalah yang menguasai opini.
Yesus lahir di kandang hina, karena Yusuf dan Maria tidak termasuk dalam kategori opinion leader. Persepsi dan opini Yusuf dan Maria tidak bisa mempengaruhi, apalagi mencuci otak orang-orang di Kampung Betlehem untuk langsung menerima Yusuf dan Maria sebagai sahabat atau tetangga mereka.
Yusuf dan Maria tetaplah orang asing. Ujung-ujungnya Yesus pun lahir di kandang sebagai orang yang dating kepada kepunyaanNya tetapi ditolak. Dalam keheningan di kandang itu, Bayi Mungil tetap mengkomunikasikan warta sukacita bagi kaum sederhana. Dalam kesederhanaan kandang itu, ada spiral kebisuan bahwa Allah tidak diam, Ia hadir dan membangun relasi yang lebih personal dengan manusia.
Uskup Keuskupan Pangkalpinang, Mgr Adrianus Sunarko OFM, melalui Nota Pastoral nya yang dirilis pada minggu advent pertama, menyerukan agar umat Keuskupan Pangkalpinang berpusat pada Kristus. Pada aspek kedua, Mgr Adrianus OFM menekankan aspek relasi dengan Yesus. Point dari Mgr Adrianus OFM ini mengingatkan umat yang merayakan Natal, agar fokus pada relasinya dengan Kristus, bukan bertahan dalam persepsi dan kepentingan masing-masing pribadi dan kelompok.
Lebih lanjut, Uskup Pangkalpinang, mengharapakan agar umat Katolik di Keuskupan Pangkalpinang agar merancang kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk membangun relasi yang lebih personal dengan Tuhan.
Sebagai pribadi, saya mengusulkan buatlah agenda puasa terhadap medsos, agar memiliki relasi personal dengan Tuuhan dalam keheningan. Juga jangan lupa membaca kitab suci dan aktif berdevosional, seperti pesan Uskup Mgr Adrianus Sunarko OFM. (*)
*Stefan Kelen Pr (Ketua Komsos Keuskupan Pangkalpinang, Magister Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana)