Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin menyebut keharusan mundur untuk anggota DPR/DPD/DPRD ketika maju sebagai calon kepala/wakil kepala daerah sebagaimana termaktub dalam uu 10/2016 pasal 7 ayat (2) huruf s, menjadi norma dalam peraturan perundangan-undangan karena keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 33/PUU-XIII/2015.
“Norma tersebut semakin konstitusional keberlakuannya ketika putusan MK Nomor 45/PUU-XV/2017 memperkuat hal itu,” kata Zulfikar saat dihubungi, Kamis (13/8/2020).
Usulan anggota dewan (DPR, DPD, DPRD) maju Pilkada tidak perlu mundur dari jabatannya pertama kali dikatakan oleh Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan saat mewakili Tim Kuasa DPR RI memberikan keterangan untuk Perkara MK Nomor 22/PUU-XVIII/2020 mengenai pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UU (UU Nomor 10 Tahun 2016) terhadap UUD NRI 1945, di Gedung MK, Jakarta, Rabu (12/8/2020).
Pasalnya, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 33/PUU-XIII/2015 yang mewajibkan mundurnya anggota DPR, DPD, dan DPRD ketika mencalonkan diri dalam Pilkada begitu kontras bilamana dibandingkan dengan Putusan MK Nomor 17/PUU-VI/2008 yang menjadikan petahana Kepala Daerah tidak perlu mundur ketika mencalonkan diri dalam Pilkada dan cukup cuti saja.
Zulfikar melihat dari sisi mekanisme apa yang dilakukan saat ini di MK sudah tepat. Dan itu merupakan langkah dan tindakan konstitusional.
“Ke depan langkah dan tindakan seperti itu yang harus selalu kita ke depankan jika ada persoalan yang harus diselesaikan terkait keberlakuan sebuah norma dalam peraturan perundang-undangan,” ujarnya.
Sementara dari sisi substansi, politisi Partai Golkar ini juga memahami mengapa norma tersebut hadir. Sebab, kita ingin agar berpolitik, menjadi anggota dewan itu pengabdian.
“Sekali kita memutuskan menapaki ranah legislatif dan rakyat telah mempercayakan pilihannya kepada kita sebagai wakil rakyat (mereka), maka jalani dan hargai. Ini sebuah kehormatan bagi anggota DPR/DPD/DPRD,” ungkapnya.
Sehingga anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR ini sepakat kalau anggota dewan ingin berpindah ke ranah eksekutif, maka mundur dari jalur legislatif adalah wujud pertanggujawaban etis.
Legislator asal Jawa Timur ini menambahkan pandangan tersebut tidak jauh beda dengan kenapa TNI, Polri, PNS dan pegawai BUMN/BUMD harus mundur ketika mencalonkan diri dalam Pilkada.
“Sekali kita putuskan mengabdi di ranah birokrasi yg harus netral dan non-partisan dari politik, maka begitu maju menjadi calon kepala/wakil kepala daerah yang merupakan ajang politik harus juga mundur sebagai bentuk pertanggungjawaban profesi,” pungkasnya.
Sebelumnya, ketentuan mengenai syarat anggota DPR/DPD/DPRD mengundurkan diri sejak ditetapkan sebagai calon kepala daerah yang dimuat Undang-undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Penggugat adalah anggota DPR Anwar Hafid serta anggota DPRD Sumatera Barat Arkadius Dt. Intan Bano.
Keduanya menilai bahwa syarat pengunduran diri dalam Pasal 7 Ayat (2) UU tersebut bertentangan dengan asas kesamaan kedudukan warga negara yang diatur UUD 1945.
Penggugat membandingkan dengan calon petahana yang hanya wajib cuti saat kampanye ketika telah ditetapkan sebagai calon kepala daerah.
“Bahwa dalam konteks keadilan dalam pencalonan kepala daerah, jabatan anggota legislatif seyogianya dipersamakan dengan calon petahana (incumbent), yang potensi penyalahgunaan wewenang dan kekuasaannya sangat besar, namun hanya diwajibkan untuk mengambil cuti di luar tanggungan negara pada saat kampanye,” bunyi petikan permohonan dikutip dari berkas permohonan perkara di laman resmi Mahkamah Konstitusi.
(Bie)