Jakarta, JurnalBabel.com – Politisi senior Fraksi Partai Demokrat (FPD), Benny Kabur Harman, membeberkan alasan FPD walk-out (keluar) dari Rapat Paripurna DPR RI yang mengagendakan pengesahan RUU Cipa Kerja (5/20/2020).
Setidaknya ada dua alasan utama FPD walk-out dari sidang yang juga dihadiri perwakilan pemerintah tersebut.
‘’Alasannya bersifat teknis dan substansi. Alasan teknis adalah bahwa dalam sidang DPR, keputusan diambil melalui mekanisme musyawarah mufakat apabila semua anggota fraksi yang ada di rapat paripurna setuju. Di sidang ini, kan ada dua fraksi yang tidak setuju RUU Ciptaker disahkan. Sesuai mekanisme tatib, kasih kesempatan lobby dulu supaya ada kesamaan pandangan. Kalau lobby tidak dicapai, kita voting. Tadi, pimpinan sewenang-wenang, tidak memberi kesempatan kepada kami untuk menyampaikan pandangan,’’ kata Benny dalam keterangan tertulisnya, Selasa (6/10/2020).
Sementara alasan substansi, menurut BKH, fraksi yang dipimpin Edhie Baskoro Yudhoyono itu sejak awal menolak RUU Ciptaker.
‘’RUU ini tidak punya urgensi apa pun di tengah rakyat Indonesia sedang menderita. Rakyat sedang kesusahan akibat Covid-19, kok tega-teganya pemerintah membuat rancangan undang-undang yang tidak relevan dengan kebutuhan dan kesulitan masyarakat saat ini, lalu mendukung pengesahannya di paripurna,’’ paparnya.
Karena itu, tegasnya, sejak awal FPD meminta supaya pembahasan RUU di Badan Legislasi (Baleg) ditolak. Tujuannya agar pemerintah dan DPRT fokus pada penanganan Covid-19, dan nanti, memiliki waktu lebih luas untuk mendalami RUU.
‘’Supaya ada proses diskusi di tingkat Panja (Panitia Kerja) yang lebih mendalam mengenai konsep-konsep. Ini kan sama sekali tidak. Dalam Panja, pembahasan RUU hanya ketok saja, ketok saja, tidak ada diskusinya,’’ kata legislator dari dapil NTT 1.
Juga secara substansial, menurut pria kelahiran Flores, 19 September 1962 itu, RUU Ciptaker lebih banyak mengakomodir kepentingan pebisnis. Sedang kelompok rentan seperti nelayan, petani, pekerja, UMKM, sama sekali tidak diperhatikan.
‘’Hanya memberikan legalisasi, dekriminalisasi terhadap pebisnis-pebisnis yang selama ini melakujan perambahan hutan. Bagaimana kita menyetuji RUU seperti ini,’’ tutur anggota Komisi III DPR RI itu.
Ditegaskannya, ketika masuk kembali ke Panja setelah sebelumnya tidak turut serta dalam pembahasan, FPD juga meminta Klaster Ketenagakerjaan dikeluarkan dari RUU Ciptaker. Karena setelah melakukan analisa dan mendengar berbagai pandangan termasuk dari kalangan pekerja melalui pimpinan-pimpinan federasi buruh, FPD melihat hak-hak pekerja tidak diperhatikan dalam RUU ini.
‘’Yang paling nyata adalah ketentuan tentang pesangon, misalnya. Pesangon itu sesuai undang-undang eksisting adalah 32 kali gaji. Ini dipotong, pengusaha hanya tanggungjawab 16 kali. Lalu pemerintah dikasih tanggungjawab 9 kali, itu pun mekanismenya asuransi. Bayangkan, duit dari mana pemerintah bayar itu, apalagi dalam situasi ekonomi sulit ini,’’ jelasnya.
FPD, menurut Benny, sudah berusaha menyuarakan aspirasi para pekerja dan kalangan rentan melalui mekanisme yang berlaku dan argumentasi jelas. Tapi di Panja, suara Demokrat kecil. Kesempatan lobby pun sempit.
‘’Bagaimana pula kami mau lobby, pembahasannya main ketok-ketok aja. RUU ini dibuat hanya untuk melayani kepentingan dan keserakahan pengusaha-pengusaha yang menurut kami berada di lingkaran oligarki kekuasaan saat ini,’’ ujarnya.
Akhirnya, anggota Baleg DPR ini berpesan, ‘’Jangan atas nama Covid, pengusaha-pengusaha, pebisnis-pebisnis ini memanfaatkan kondisi, memaksa DPR dan Pemerintah mengesahkan undang-undang yang menguntungkan mereka. Bayangkan, setelah ini akan ada PHK habis-habisan dan dengan undang-undang ini, pesangon akan dibayar jauh lebih murah!’’
‘’Sebagai bentuk pertanggungjawaban politik kami terhadap rakyat, kami tolak RUU Ciptaker,’’ pungkasnya. (Bie)