Jakarta, JurnalBabel.com – Dosen hukum pidana Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Miko Susanto Ginting, menyoroti kasus video porno mirip artis Gisella Anastasia yang beredar viral di media sosial baru-baru ini.
“Pertama, dalam kasus-kasus seperti ini, pelindungan korban harus selalu menjadi yang paling utama. Apa sebenarnya esensi dari penegakan hukum tanpa pelindungan korban? Terlebih dalam masyarakat yang patriarkal ini, perempuan telah dan akan selalu menjadi korban ganda,” kata Miko dalam keterangan tertulisnya, Senin (9/11/2020).
Miko mengungkapkan, kasus serupa beberapa tahun lalu yang melibatkan vokalis band terkenal itu menjadi catatan penting. Korban yang privasinya terumbar itu malah menjadi pesakitan dan divonis bersalah.
Sementara itu, kedua perempuan pasangannya masih menjadi tersangka sampai hari ini. Belum lagi ditambah persepsi negatif dan penghakiman oleh publik yang akan terus-menerus diemban oleh mereka.
“Korban adalah yang utama. Tidak terlalu penting itu ia public figure atau bukan. Esensinya, mereka adalah korban apapun status sosialnya,” ujarnya.
Kedua, konstruksi tindak pidana dan pemilihan delik menjadi penting. Soal pornografi ini diatur dalam KUHP, UU ITE, dan UU Pornografi. Meski demikian, KUHP dan UU ITE masih menggunakan istilah “kesusilaan” dan bukan pornografi.
Istilah Pornografi sebenarnya mulai resmi digunakan mulai 70an sesudah pertemuan Presiden Soeharto, Departemen Penerangan, dan organisasi jurnalis untuk membahas pers komunisme dan pers yang menyimpang.
Miko mengingatkan bahwa dalam pemilihan delik ini ukurannya adalah kehati-hatian. UU Pornografi, misalnya. UU itu tidak mengandung unsur “dengan sengaja”. Artinya, siapapun yang menyimpan, menggandakan, menproduksi, dll suatu konten pornografi akan terkena delik.
Ia mencontohkan menerima tautan, ternyata ada video yang bermuatan pornografi terunduh secara otomatis, maka ia bisa kena delik berdasarkan UU Pornografi ini.
“Untuk itu, kepolisian harus menerapkan delik yang tepat. Yang bagaimana? Kepada yang mereka dengan sengaja menyebarluaskan video ini dengan motif eksploitasi seksual (tanpa persetujuan) atau bahkan revenge porn (penyebaran konten privasi berbasis dendam). Korban seharusnya tidak bergeser menjadi pelaku. Publik yang tidak punya kesengajaan seharusnya juga tidak dikriminalkan,” paparnya.
Ketiga, kepolisian harus bertindak menarik video itu dari semua platform dengan bekerjasama dengan berbagai pihak. Seperti kita tahu, dunia digital punya karakter yang abadi. Sekali diungggah, sulit untuk dihilangkan. Memang ada hak untuk dilupakan (right to be forgotten) di UU ITE, tetapi mekanisme operasionalisasinya masih belum jelas.
“Kepolisian tidak perlu menunggu. Segera berupaya tarik semua konten itu dari semua platform,” katanya.
Miko menambahkan kasus ini bisa menjadi momentum bagi dunia penegakan hukum kita untuk menerapkan standard ketika menghadapi kasus serupa. “Bahwa ada langkah-langkah proaktif dan memperhatikan kerentanan korban,” pungkasnya. (Bie)