Jakarta, JurnalBabel.com – Presiden Jokowi baru-baru ini berpesan agar implementasi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjunjung tinggi prinsip keadilan. Jika hal itu tak dapat dipenuhi, ia akan meminta DPR untuk merevisi UU tersebut.
Belakangan UU ITE banyak digunakan oleh masyarakat sebagai rujukan hukum untuk membuat laporan ke pihak kepolisian.
Catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), hingga Oktober 2020, ada sebanyak 10 peristiwa dan 14 orang yang diproses hukum karena mengkritik Presiden Jokowi Widodo.
Lalu dari 14 peristiwa, 25 orang diproses dengan obyek kritik kepolisian, dan 4 peristiwa dengan 4 orang diproses karena mengkritik Pemda. Mereka diproses dengan penggunaan surat telegram Polri maupun UU ITE.
Sebab itu, Jokowi agar DPR menghapus pasal-pasal karet yang ada di UU ITE. Pasal karet dalam UU ITE yang dimaksud yakni Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2.
Pasal 27 ayat (3) menyebutkan “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Sementara pada pasal 28 ayat (2) berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”
Atas aturan pada pasal-pasal di atas, Bab XII UU 11/2008 tentang Ketentuan Pidana menyebutkan pada ayat (1) bahwa “Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1),ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Ayat (2) menyebutkan “Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Revisi UU ITE ini pun sebenarnya sudah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2019-2024. Namun, revisi atau Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang ITE bukan di usulkan oleh Pemerintah, tetapi oleh DPR.
Saat ini DPR pun belum mensahkan daftar RUU yang dimasukan dalam Prolegnas prioritas 2021. Salah satu penyebabnya, terdapat satu RUU yakni RUU Pemilu yang belum disepakati oleh seluruh fraksi di DPR serta belum selesai di harmonisasi di tingkat badan legislasi (Baleg) DPR.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP), Syamsurizal mengatakan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), implementasi UU ITE berjalan dengan baik. Berjalannya waktu saat pemerintahan Presiden Jokowi, implementasi UU ITE bermasalah.
Sebab itu, ia menilai sudah saatnya UU ITE untuk di tinjau ulang karena terdapat pasal-pasal “karet” yang merugikan masyarakat.
“Perlu sekali di revisi, karena sudah menjadi pasal karet. Perlu meninjau beberapa pasal, misalnya pasal 25, 26, 27, 28, 29,” kata Syamsurizal saat dihubungi, Rabu (17/2/2021).
Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Bidang Isu Strategis ini pun meminta Komisi I DPR yang membidangi masalah komunikasi dan Komisi III DPR yang membidangi masalah hukum, melakukan peninjauan terkait masalah implementasi UU ITE bermasalah di masyarakat. Sebelum nantinya masuk dalam Prolegnas prioritas 2021 untuk di revisi.
Pasalnya, lanjut dia, revisi UU ITE ini sangat layak masuk dalam Prolegnas prioritas 2021. Sebab, tegas dia, implementasi UU ITE bermasalah di masyarakat. Namun ia meminta pemerintah sebagai pengusul revisi UU ITE.
“Ya pemerintah usulkan masuk prolegnas prioritas 2021 supaya cepat pembahasannya. Kalau melalui usulan DPR, lama lagi prosesnya. Ada tahapan yang harus dilalui. Perlu harmonisasi dan segala macam,” jelas legislator asal Riau ini.
Apabila nantinya revisi UU ITE masuk dalam Prolegnas prioritas 2021, Syamsurizal meminta revisi tersebut harus benar-benar untuk kepentingan masyarakat. “Revisinya untuk kepentingan masyarakat, harus netral, jangan ada keberpihakan,” tegas Wakil Ketua Komisi II DPR ini.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Nasional Demokrat (FNasDem), Aminurokman saat dihubungi terpisah, sepakat dengan Syamsurizal agar revisi UU ITE masuk dalam Prolegnas prioritas 2021. Pasalnya, kata dia, di era digital, media sosial atau medsos menjadi sarana komunikasi banyak pihak. Namun, ketika tidak mewaspadai bahwa medsos ini juga diakses banyak pihak, ini beresiko bagi penggunanya.
“Maka di Pasal 27, 28, 29, sekarang mulai dicermati sebagai pasal karet. Ini harus diperbaiki. Maka inisiatif pemerintah apabila ingin melakukan revisi UU ITE ini, untuk menghindari multitafsir dari aparat penegak hukum dalam merespon laporan masyarakat. Karena kalau masyarakat sudah melapor, aparat harus merespon untuk memberikan sanski, mencari pasal-pasal yang memungkinkan memproses laporan,” kata Aminurokhman saat dihubungi terpisah.
Dengan banyaknya masukan dan kritik dari masyarakat kepada pemerintah agar tidak masuk pelanggaran UU ITE, lanjut dia, Nasdem sangat mengapresiasi apabila pemerintah membuka diri untuk merevisinya. Pasalnya, tujuan awal dari dibuatnya UU ITE ini untuk memberikan perlindungan dan rasa keadilan pada masyarakat.
“Ini sangat diprioritaskan masuk prolegnas prioritas 2021. Karena di Prolegnas ada yang sifatnya komulatif terbuka. Mesti pun tidak tercantum disitu, ketika pemerintah dan DPR melihat ini ada sangat urgent, ya kita langsung masukin,” jelasnya.
“Jadi pada waktu memasukkan pada prolegnas prioritas itu, memang Baleg dan Komisi terkait itu ingin memasukan dalam prolegnas. Namun dengan perkembangan yang ada ketika pemerintah menginisiasi ini (revisi UU ITE-red) melihat lebih penting diprioritaskan, tidak apa-apa,” tambahnya. (Bie)