Jakarta, JurnalBabel.com – Komisi XI DPR RI menghadiri undangan FGD dari Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI) pada Rabu, 19 Mei 2021 di Jakarta. Pada kesempatan ini, anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS, Anis Byarwati menyampaikan beberapa pandangannya.
Terkait dengan kondisi Ekonomi Indonesia, Anis menyampaikan data bahwa Ekonomi Indonesia triwulan I-2021 terhadap triwulan I-2020 mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 0,74 persen (yoy). Sedangkan terhadap triwulan (triwulan I-2021), mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 0,96 persen (qtq).
“Dengan data tersebut, kita melihat perekonomian nasional masih mengalami resesi. Efektifitas kebijakan Pemerintah untuk mempercepat pemulihan ekonomi masih jauh panggang dari api,” ujarnya.
Sebagai perbandingan, Anis mengungkap data pertumbuhan ekonomi beberapa negara yang sudah tumbuh positif seperti China (18,3%), Amerika Serikat (0,4%), Singapura (0,2%), Korea Selatan (1,8%), dan Vietnam (4,48%).
Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan ini kemudian mengungkap sisi produksi, dimana kontraksi terdalam terdapat pada lapangan usaha Transportasi dan Pergudangan yang mengalami pertumbuhan negatif sebesar sebesar 13,12 persen, penyediaan akomodasi dan makan minum sebesar 7,26 persen, jasa perusahaan sebesar 6,10 persen, jasa lainnya sebesar 5,15 persen, dan jasa keuangan dan asuransi sebesar 2,99 persen.
“Kita harus mengakui, efek kebijakan pembatasan perjalanan dan kegiatan diluar ruang, memiliki dampak terhadap beberapa sektor terkait,” tutur Anis.
Wakil ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini juga menyampaikan beberapa sektor yang memiliki kontribusi terhadap PDB, masih mengalami kontraksi, diantaranya industri pengolahan (19,84%) sebesar 1,38 persen, perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor (13,10%) sebesar 1,23 persen, konstruksi (10,8%) sebesar 0,79 persen dan hanya sektor pertanian yang mampu tumbuh positif (13,17%) sebesar 2,95%.
“Masih terkontraksinya beberapa sektor yang memberikan kontribusi terhadap PDB, menunjukkan kebijakan Pemerintah belum cukup efektif dalam mendorong pertumbuhan di sektor-sektor tersebut,” tegasnya.
Sedangkan dari sisi pengeluaran, data menunjukkan bahwa komponen pengeluaran terbesar dalam PDB juga masih mengalami kontraksi. Konsumsi rumah tangga (56,93%) terkontraksi sebesar 2,23 persen dan komponen pembentukan modal tetap bruto atau investasi (31,98%) terkontraksi sebesar 0,23 persen.
“Kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang sebagian besar digunakan untuk mendorong konsumsi dan daya beli masyarakat masih perlu ditingkatkan efektivitasnya. Manajemen pendistribusian bansos, khususnya validitas data perlu dibenahi, mengingat temuan KTP ganda oleh Kemensos,” kata Anis.
“Selain itu, masih besarnya SILPA tahun 2020 dan saldo pemerintah daerah dilembaga perbankan, menunjukkan kebijakan belanja baik pusat maupun daerah belum efektif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,” tambah Anis.
Legislator dari Jakarta Timur ini juga menyoroti kenaikan PPN 15% yang dilakukan Pemerintah dalam kondisi daya beli masyarakat yang tertekan akibat pandemi dan krisis ekonomi.
“Menaikkan PPN sebesar 15 persen dalam kondisi seperti ini, bukanlah merupakan kebijakan yang tepat,” ujarnya.
Anis menegaskan, PPN konteksnya pajak yang paling dekat dengan masyarakat. Semua kebutuhan masyarakat seperti makanan, minuman, pakaian dan keperluan lain, semua dikenakan PPN yang dibebankan oleh penjual kepada konsumen akhir.
Anis menilai, dampak utama dari kenaikan PPN ini akan menghantam daya beli masyarakat dan membahayakan industri retail.
Anis berharap Pemerintah tidak menambah beban masyarakat yang sedang susah dengan kenaikan PPN.
“Pemerintah jangan mencari jalan pintas untuk memenuhi target pajak dan kembali mencederai rasa keadilan,” pungkasnya.
(Bie)