Jakarta, JurnalBabel.com – Ahli hukum tata negara, Muhammad Rullyandi, menilai sudah sangat tepat, profesional dan proporsional, penyidik Polda Metro Jaya menghentikan penyelidikan laporan kasus dugaan penistaan suku Sunda yang dilakukan anggota komisi III DPR Fraksi PDIP Arteria Dahlan. Lantaran tidak ditemukan adanya unsur pidana dalam kasus tersebut.
Kasus yang berawal dari Arteria Dahlan meminta Kajati Jabar yang berbahasa sunda dalam rapat untuk dicopot dari jabatannya saat rapat dengan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin ini, juga dinilai Polda Metro Jaya bahwa Arteria Dahlan sebagai anggota DPR memiliki hak imunitas sehingga tidak bisa dipidanakan.
“Penegakan hukum terhadap kasus Arteria Dahlan harus dihentikan demi hukum karena rujukan Undang-Undang yang mengatur sanksi pidana atas perbuatan dugaan suatu tindak pidana telah kehilangan eksistensi subjek hukum dan objek peristiwa dugaan adanya indikasi perbuatan hukum pidananya. Karena itu langkah penghentian penyidikan kepolisian sudah sangat tepat secara profesional dan proporsional,” kata Rullyandi dalam keterangan tertulisnya, Senin (7/2/2022).
Rullyandi menjabarkan dasar hukum yang membuat Arteria Dahlan tidak bisa diproses hukum dalam kasus ini.
Dijelaskannya bahwa Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945 โ Kedaulatan Rakyat, menempatkan kelembagaan DPR sebagai bentuk representasi rakyat Indonesia yang dalam pelaksanaan penyelenggaraan negara, konstitusi, telah memberikan jaminan konstitusional hak keanggotaan DPR sebagaimana diatur dalam batang tubuh UUD 1945, sebagaimana ketentuan Pasal 20A ayat (3) dan ayat (4) yang menyatakan: Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.
“Selanjutnya, ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang,” jelasnya.
Menurutnya, pemberlakuan hak imunitas kepada anggota DPR telah dijamin konstitusionalitas normanya dalam pembentukan hukum Undang โ Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD atau (UU MD3).
“Keberadaan UU MD3 sebagai undang โ undang organik yang lahir dari amanat konstitusi UUD 1945 telah menjabarkan ruang lingkup pemberian hak imunitas sebagai landasan prinsip negara hukum yang mengedepankan asas legalitas dan asas kepastian hukum, yang dapat dipahami dengan ketentuan Pasal 80 huruf f UU MD3, yang menyatakan Anggota DPR berhak imunitas,” paparnya.
Lebih lanjut Rullyandi mengatakan demikian halnya penjabaran hak imunitas sebagaimana dalam ketentuan Pasal 224 ayat (1) UU MD3 yang menegaskan: Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
“Relasi rangkaian hukum (nocituur a sociis) ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945, ketentuan Pasal 20A ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945 serta Pasal 80 huruf f UU MD3 dan ketentuan Pasal 224 ayat (1) UU MD3 merupakan satu kesatuan the unity of the constitution,” katanya.
Sehingga demikian, Rullyandi menandaskan bahwa dihubungkan dengan pendekatan case approach Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan atas pernyataan yang viral disampaikan untuk meminta Jaksa Agung mencopot Kepala Kejaksaan Tinggi yang menggunakan bahasa daerah Sunda dalam suatu rapat, dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsinya selaku Anggota DPR melalui suatu rapat resmi bersama Kejaksaan sebagai mitra kerja Komisi III DPR telah memenuhi aspek perlindungan hak imunitas sebagaimana ketentuan Pasal 224 ayat (1) UU MD3 dan berlaku bagi semua tingkatan dalam proses hukum.
“Yang dengan demikian memberikan implikasi hukum kepada Aparat Penegak Hukum (Kepolisian) untuk dijadikan sandaran asas legalitas yang berlaku sebagai bagian dari hukum positif yang tidak dapat dilekatkan atau dilepaskan dari suatu pertanggungjawaban hukum,” pungkasnya. (Bie)