Jakarta, JurnalBabel.com – Pemerintah resmi membuat kebijakan larangan mudik yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19.
Aturan tersebut diberlakukan mulai 24 April 2020 sampai dengan 31 Mei 2020 untuk transportasi darat, 15 Juni untuk kereta api, 8 Juni untuk transportasi laut, dan tanggal 1 Juni untuk transportasi udara. Hal ini dapat diperpanjang dengan menyesuaikan dinamika pandemi Covid-19 di Indonesia.
Ahli hukum tata negara Muhammad Rullyandi menyatakan keputusan pemerintah tersebut menarik untuk ditelusuri, apakah telah sesuai dengan konstitusi maupun dengan substansi Undang – Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Menurut Rullyandi, dari pendekatan kontekstual relasi yuridis UUD 1945, UU Karantina Kesehatan dan PP tentang PSBB, dihubungkan dengan adanya kebijakan penyelenggaraan karantina kesehatan dengan PSBB, merupakan kewenangan penuh dan konsistensi pemerintah menghadapi pilihan kebijakan penyelenggaraan karantina dengan status darurat kesehatan antara karantina wilayah dan PSBB.
Lebih lanjut dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila Jakarta ini menjelaskan bahwa PSBB diatur secara spesifik dalam Pasal 59 ayat (3) UU Karantina Kesehatan bahwa PSBB paling sedikit meliputi: peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan dan pembatasan kegiatan di tempat.
“Adapun ketentuan tersebut juga ditegaskan pada Pasal 4 PP tentang PSBB,” jelas Rullyandi dalam keterangan tertulisnya, Selasa (28/4/2020).
Mantan anak buah advokat senior OC Kaligis ini menjelaskan kembali bahwa maksud pembentuk UU sepanjang frase “paling sedikit meliputi” sebagaimana dimaksud Pasal 59 ayat (3) UU Karantina Kesehatan Junto Pasal 4 PP tentang PSBB, dapat dimaknai memberikan suatu kelonggaran dan fleksibilitas terhadap berbagai kegiatan – kegiatan yang dibatasi oleh pemerintah, sepanjang memperhatikan keadaan dinamika yang terjadi di masyarakat yang bersifat keadaan kondisional bersyarat.
“Ukuran subjektifitas dan objektifitas pemerintah didalam menilai keadaan kondisional bersyarat merupakan kewenangan konstitusional pemerintah yang diamanahkan konstitusi. Mengingat konstitusi menjamin setiap orang berhak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat (Pasal 28 H UUD 1945) dan tanggung jawab negara terutama pemerintah atas perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia (Pasal 28 H ayat 4),” paparnya.
Rullyandi yang juga seorang advokat ini juga berpandangan bahwa konsistensi pemerintah dalam menerapkan pilihan kebijakan PSBB, implementasinya perlu mempertimbangkan potensi besarnya ancaman, efektifitas dan tingkat dampak sosial dengan didukung data intensitas penyebaran Covid-19 yang hingga pada tanggal 27 April 2020 dengan kasus positif 9.096 tersebar di 24 Provinsi.
“Maka demikian, keadaan kondisional bersyarat memungkinkan pemerintah sebagai penanggungjawab penyelenggaraan karantina kesehatan yang diberikan kewenangan penuh untuk mengambil sikap langkah antisipasi dengan menambahkan kegiatan mudik sebagai jenis kegiatan baru yang dilarang terhadap terjadinya potensi pergerakan yang luas dengan adanya penyebaran pada suatu kegiatan mudik dari satu wilayah ke wilayah lain,” katanya.
Disamping peran Pemerintah, sebutnya, landasan sosiologis UU tentang Karantina Kesehatan pada bagian diktum konsiderans menimbang juga menegaskan dibutuhkannya peran serta masyarakat dalam upaya cegah tangkal dalam penyebaran Covid-19, sebagaimana Pasal 9 ayat (2) UU tentang Karantina Kesehatan yang menyatakan “setiap orang berkewajiban ikut serta dalam penyelenggaraan karantina kesehatan”.
“Dengan adanya kewajiban setiap orang dalam rangka ikut serta penyelenggaraan karantina kesehatan, maka diperlukan kesadaran hukum kepada masyarakat khususnya untuk menahan diri tidak melakukan perjalanan mudik karena kepentingan keselamatan rakyat merupakan taruhan negara menghadapi ancaman darurat kesehatan Covid-19,” ujarnya.
Penerima penghargaan Museum Rekor Dunia-Indonesia (Muri) sebagai ahli hukum tata negara termuda sebagai saksi ahli di Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2018 ini menandaskan sehingga tujuan utama pemerintah menerbitkan kebijakan larangan mudik adalah sebagai upaya untuk memutus rantai penyebaran Covid-19 dan berlaku di seluruh wilayah Indonesia, baik wilayah yang berstatus Zona Merah maupun wilayah yang berstatus PSBB.
“Dengan demikian, sikap pemerintah dalam mengambil kebijakan pengendalian transportasi selama masa mudik atau larangan mudik lebaran sebagaimana diatur dalam Permenhub Nomor 25 Tahun 2020 adalah kebijakan yang tepat sesuai dengan ruang lingkup PSBB yang tidak dapat dikelompokan dalam konteks karantina wilayah,” pungkasnya.
Sebelumnya, kebijakan Pemerintah melarang mudik dengan menerbitkan Permenhub Nomor 25 Tahun 2020 dikritik. Pasalnya, hal itu dinilai bertentangan dengan kebijakan PSBB. Sebagai contoh PSBB di DKI Jakarta dan sekitarnya, dimana akibat adanya larangan mudik ini maka terjadi penutupan akses keluar masuk ke wilayah Jabodetabek. Artinya, penutupan akses ini bisa dikatakan sebagai penerapan Karantina Wilayah setengah hati. Padahal Presiden Jokowi atau pemerintah hanya menerapkan PSBB.
Penutupan akses tersebut seharusnya lebih cocok jika pemerintah menetapkan Karantina Wilayah atau lockdown. Pemilihan opsi ini pun di atur dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. (Bie)
Editor: Bobby