Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi II DPR, Anwar Hafid Fraksi Partai Demokrat, menilai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa perlu direvisi. Pasalnya, regulasi tersebut belum mengatur secara jelas dan konkrit mengenai otonomi desa, sehingga para kepala desa tidak leluasa mengelola pemerintahan dan dana desa.
“Perlu dibuka kemungkinan untuk dilakukan revisi UU Desa, sehingga pengakuan hak otonomi desa lebih nyata. Saat ini, tuntutan masyarakat ke pemerintahan desa semakin besar. Ke depan perlu dipikirkan pula untuk penambahan alokasi dana desa,” kata Anwar Hafid dikutip dari situs resmi DPR, Kamis (30/9/2021).
Soal dana desa misalnya, kata Anwar, pemerintah desa perlu diberikan hak diskresi dalam mengelola dana desa. Pasalnya, selama masih ada kekosongan hukum, para kepala desa bisa mengambil hak diskresi atas pengelolaan keuangan desa.
“Perlu ada perlindungan bagi para kepala desa untuk mengambil diskresi dalam penggunaan dana desa. Kalau tidak dilakukan, tentu itu akan membuat kepala desa jadi bulan-bulanan publik. Padahal, kebutuhan masyarakat begitu besar, sementara juknis penggunaan dana desa sangat ketat. Di sinilah perlu ada diskresi bagi para kepala desa dalam mengambil kebijakan pengelolaan APBDes,” jelasnya.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR ini mengungkapkan Presiden sering menyerukan kepada para kepala desa agar tidak takut mengambil kebijakan diskresi. Menurutnya, seruan Presiden ini harus ditindaklanjuti dengan merumuskan payung hukum bagi para kepala desa.
Pasalnya, tambah Anwar, kebijakan diskresi itu bagian dari otonomi desa. Namun, otonomi desa bukan otonomi yang diberikan bagi kabupaten/kota. Otonomi kabupaten pemberian pemerintah pusat, tapi otonomi desa merupakan pengakuan. Dia sudah udah ada sejak sebuah desa lahir.
Seperti diketahui, istilah diskresi ditemukan dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dalam Pasal 1 Angka 9 UU itu disebutkan, diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.
(Bie/dpr.go.id)