Jakarta, JurnalBabel.com – Dalam dua hari ini Komisi III DPR yang membidangi masalah hukum sedang melakukan uji kelayakan dan kepatuhan atau fit and proper test calon hakim agung. Ada yang menarik untuk dikritisi terkait pemaparan calon hakim agung kamar pidana Soesilo.
Dalam pemaparan hari ini di hadapan anggota komisi III DPR, Soesilo yang merupakan hakim di Pengadilan Tinggi Banjarmasin menyinggung masalah hukum adat. Ia menyampaikan 4 point kesimpulan terkait hukum adat.
Pertama, sanksi adat bagi masyarakat yang hukum adatnya masih berlaku dapat dijalankan dengan perkara-perkara ringan. Kedua, pidana ringan dijatuhkan sanksi adat akan mengurangi beban lembaga pemasyarakatan.
Ketiga, diperlukan adanya nota kesepahaman antara penegak hukum, pemerintah daerah dan lembaga adat dalam menentukan jenis pidana ringan yang dapat dijatuhkan sanksi.
Keempat, hakim dalam menjatuhkan putusan dalam perkara pidana ringan harus memperhatikan sanksi adat yang dijatuhkan.
Sementara dalam draft RKUHP per 28 Agustus 2019 memasukkan pasal-pasal mengenai ketentuan hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law.
Pasal 2 ayat (1) RKUHP menyebutkan KUHP tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam ketentuan pidana.
Kemudian Pasal 2 ayat (2) menyebutkan hukum yang hidup dalam masyarakat tetap berlaku di daerah hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam undang-Undang ini, sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, serta asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.
Menanggapi hal tersebut, anggota komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra Muhammad Husni mengatakan di Indonesia tidak mengenal adanya sistem peradilan adat. Sistem peradilan yang berlaku di Indonesia hanya ada 6, yakni Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara.
Menurut Husni, hukum adat merupakan kearifan lokal. Tidak bisa diberlakukan secara universal, dimana hukum adat yang berlaku di Aceh, Sumut, Sumbar dan Bali pasti berbeda dengan hukum adat di Jawa, Kalimantan. Ia mencontohkan di Aceh ada MAA (Majelis Adat Aceh).
“Untuk kasus-kasus pidana ringan seperti kasus rumah tangga, perselisihan keluarga, itu MAA bekerjasama dengan pemda dengan pengadilan bahwa hal-hal seperti kearifan lokal cukup diselesaikan secara adat. Tidak perlu tertulis,” ujar Muhammad Husni di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (21/1/2020).
Lebih lanjut Husni menegaskan bahwa dalam hukum adat atau living law tidak perlu diatur dalam RKUHP yang kini masuk dalam Prolegnas prioritas 2020. “Jadi contoh saja apa yang dilakukan MAA di Aceh,” tegasnya.
Legislator asal daerah pemilihan Sumut ini menjelaskan bahwa kasus-kasus pidana ringan cukup diselesaikan secara adat. Sementara kasus pidana berat dikembalikan kepada penegak hukum.
“Kalau dibuat dalam KUHP, maka berlaku secara universal. Bagaimana di Sumatera Barat soal tanah dibagi secara adat yang berlaku di Sumbar. Tidak bisa diseragamkan,” jelasnya.
Dalam pembahasan RKUHP nantinya di Komisi III, Husni mengaku akan memperjuangkan agar hukum adat tidak dimasukkan dalam RKUHP. “Sesuatu yang menjadi kearifan lokal biarkan lah berjalan pada jalurnya,” katanya. (Bie)
Editor: Bobby