Jakarta, JurnalBabel.com – Pengambilalihan ladang minyak Blok Rokan oleh Pertamina dari Chevron seharusnya dijadikan momentum penguatan kemampuan anak bangsa dalam mengelola sumber daya alamnya sendiri.
Rencana pemerintah mendivestasi saham atau participating interest kepada pihak asing, bukan saja menciderai spirit kemerdekaan RI, bahkan berpotensi merugikan negara.
Menurut Anggota Komisi VI DPR, Amin Ak, ada sejumlah alasan mengapa blok Rokan seharusnya dikelola oleh BUMN dalam hal ini Pertamina Hulu Rokan (PHR). Secara bisnis finansial, lanjut Amin, pengelolaan blok Rokan itu sudah berjalan dan menguntungkan dengan risiko rendah.
Merujuk pada data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), pada tahun 2020 produksi blok Rokan mencapai 174 ribu barel per hari (63,5 juta barel per tahun), dengan asumsi harga rata-rata dalam 10 tahun terakhir (US $66 per barel), maka pendapatan kotor (merujuk data SKK Migas) US $4,19 miliar atau setara Rp58,7 triliun per tahun.
“Dengan kemampuan yang dimiliki anak bangsa, baik teknologi maupun pengelolaan bisnisnya, buat apa divestasi?,” tegas Amin Ak dalam keterangan tertulisnya, Senin (30/8/2021).
Lebih lanjut Wakil Rakyat dari Dapil Jatim IV itu mengatakan, bukan hanya berpotensi merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah, divestasi tersebut juga melanggar konstitusi atau aturan pemerintah sendiri. Menurut Amin, divestasi saham PHR melibatkan nilai aset negara berorde quadriliun.
Merujuk data SKK Migas, blok Rokan diperkirakan memiliki cadangan minyak sekitar 1,5 miliar – 2 miliar barel. Jika diasumsikan harga minyak sama dengan harga rata-rata 10 tahun terakhir (US $66 per barel), maka nilai bruto aset cadangan tersebut berkisar US $99 miliar hingga US $132 miliar. Pada kurs Rp14.000 per US dollar, maka nilai bruto aset adalah Rp 1.386 triliun –Rp 1.848 triliun.
Selanjutnya, kata Amin, jika saham PHR sebanyak 39% didivestasi, maka akan terjadi pengalihan hak pengelolaan aset negara bernilai 39% x Rp 1.848 triliun atau setara Rp 720 triliun. Ini aset negara yang sangat besar, padahal Pertamina sendiri mampu mengelolanya.
“Saya khawatir ada moral hazard dan rekayasa dibalik niat ini sehingga berani langgar aturan. Praktik semacam ini membahayakan masa depan kedaulatan energi bangsa,” kata Amin.
Ia pun membeberkan sejumlah aturan perundangan-undangan yang potensial dilanggar. Pertama, merujuk UU No.22/2001 tentang Migas maupun PP No.35/2004 tentang Hulu Migas, tidak ada satu pasal atau ketentuan pun dalam yang memberi wewenang kepada Menteri ESDM memaksa BUMN/Pertamina menjual saham (PI).
Pertamina memiliki hak konstitusional untuk mengelola Blok Rokan secara penuh 100% sesuai Pasal 33 UUD 1945. Ketiga, ketentuan dalam Kepmen tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya. Menurut tata urutan peraturan perundang-undangan (UU P3 No.12/2011), posisi Kepmen jauh di bawah UU, apalagi terhadap UUD 1945. Dengan demikian, kewajiban divestasi sesuai Kepmen No.1923K/2018 semestinya batal demi hukum.
Keempat, karena Kepmen ESDM No.1923/2018 tidak valid, maka PHE tidak legal melanjutkan proses divestasi yang sedang berlangsung. Kelima, divestasi saham PHR menyangkut transaksi aset negara yang potensi nilainya Rp 1.848 triliun.
“Apalagi ini, nilai aset negara yang sangat besar kok hanya diputuskan oleh subholding di BUMN dan proses penawaran maupun dan undangannya ke kepada calon mitra juga terkesan tertutup. Padahal penjualan saham-saham BUMN yang bernilai puluhan atau ratusan triliun saja, pemerintah harus mendapat izin DPR,” jelasnya.
Ia pun mendesak pemerintah untuk sungguh-sungguh menjalankan amanat UUD 1945 khususnya Pasal 33 UUD 1945. Karena dengan kemampuan yang dimiliki, Pertamina memiliki hak konstitusional untuk mengelola Blok Rokan secara penuh 100%. Divestasi membuat kepemilikan saham pemerintah di PHR kurang dari 100%, sehingga otomatis menghilangkan hak istimewa (privilege) pemerintah.
“Pasal Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan tiga aspek penting yakni pemenuhan hajat hidup publik, pengelolaan SDA, dan pencapaian target sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tanpa hak istimewa, sulit ketiga hal itu diwujudkan,” pungkasnya. (Bie)