Jakarta, JurnalBabel.com – Komisi XI DPR menggelar Rapat Kerja bersama Menteri Keuangan membahas Rencana Peraturan Pemerintah tentang Perlakuan Perpajakan Untuk Lembaga Pengelola Investasi (LPI). Raker ini diselenggarakan pada Senin (1/2/2021) di Jakarta.
Pada kesempatan ini, anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS, Anis Byarwati, menyampaikan beberapa catatannya.
Politisi senior PKS ini menyampaikan bahwa insentif pajak merupakan salah satu instrumen yang sering digunakan oleh negara-negara berkembang untuk menarik investasi negaranya. Hal yang sama juga lakukan oleh Indonesia yang secara garis besar memiliki dua jenis insentif yang ditawarkan kepada investor.
Kedua insentif tersebut adalah tax holiday yang diatur dalam PMK nomor 35 tahun 2018 tentang pemberian fasilitas pengurangan pajak penghasilan badan, dan tax allowance yang diatur dalam PP nomor 9 tahun 2016 tentang perubahan PP no 18 tahun 2015 tentang Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu Dan Atau Di Daerah Tertentu.
Anis menegaskan, walaupun Insentif pajak bukan merupakan faktor utama yang mempengaruhi investasi ke suatu negara, namun setidaknya mampu untuk meningkatkan “portofolio” Indonesia dalam sektor pajak di mata investor.
Sekarang, dengan adanya Lembaga Pengelola Investasi (LPI), Pemerintah akan memberikan insentif pajak kepada pihak ketiga yang menjadi mitra investasi LPI. Harapannya perlakuan perpajakan ini akan menjadi daya tarik sejalan dengan pembentukan LPI, sehingga harus di dukung melalui perlakuan-perlakuan tertentu yang diberikan kepada mitra LPI.
Anis mempertanyakan kebijakan pemerintah ini, jangan sampai perlakuan perpajakan ini hanya sebagai pemanis pelaku proyek.
Ketua Bidang Ekonomi dan Keuangan DPP PKS ini juga mengingatkan bahwa PBB dalam handbook tentang Protecting The Text Best Of Developing Countries Second Edition menjelaskan bahwa pemerintah perlu tetap waspada terhadap potensi kehilangan penerimaan negara yang cukup besar.
“Insentif pajak harus menjadi catatan penting bagi pemerintah, mengingat penerimaan negara dari sektor perpajakan hingga saat ini belum memenuhi target,” kata Anis Byarwati.
Dalam pandangan Anis, pemerintah harus memaksimalkan manfaat dan meminimalkan kerugian dari adanya insentif pajak. Karena seringkali pemberian insentif pajak ini tidak efektif dan efisien. Juga rentan terhadap penyalahgunaan dan korupsi.
Selain itu, efektivitas insentif pajak secara langsung berkaitan dengan iklim investasi suatu negara. Sehingga ketika terdapat dua negara yang memiliki insentif pajak yang hampir sama, maka secara substansial hal yang akan menarik Foreign Direct Investment (FDI) adalah siapa yang memiliki iklim investasi lebih baik.
“Pemerintah perlu memiliki kesiapan untuk memenangkan FDI. Dengan memperbaiki kondisi perekonomian, menyediakan infrastruktur yang memadai, memberikan kemudahan dalam perizinan usaha, mewujudkan kepastian hukum dan berbagai hal yang mendukung stabilitas ekonomi,” tegasnya.
Doktor Ekonomi Islam lulusan Universitas Airlangga ini juga mengingatkan tentang transparansi. Ia menyampaikan bahwa menurut World Bank, transparansi yang dilakukan pemerintah dalam setiap kebijakan serta pengawasan dan evaluasi, dapat memberikan keyakinan bagi investor bahwa pemerintah memiliki akuntabilitas dalam penyelenggaraan kebijakannya.
“Karena itu pemerintah secara periodik harus mengevaluasi efektivitas insentif pajak untuk mendapatkan hasil yang diharapkan dan secara berkelanjutan memperbaiki substansi dari peraturan insentif pajak apabila kebijakan yang diambil gagal dalam mendapatkan hasil yang diinginkan,” katanya.
“Jangan sampai pajak yang diberikan pemerintah bertentangan dengan Prinsip Keadilan (Equity), Prinsip Kepastian (Certainty), Prinsip Kecocokan/Kelayakan (Convience), Prinsip Ekonomi (Economy),” pungkasnya. (Bie)