Jakarta, JurnalBabel.com – Sejumlah catatan disampaikan anggota komisi XI DPR dari Fraksi PKS, Anis Byarwati, dalam rapat Komisi XI DPR dengan jajaran gubernur Bank Indonesia (BI) di Jakarta, belum lama ini.
Persoalan-persoalan terkait dampak Covid-19 yang dirasakan masyarakat, pelaksanaan vaksinasi yang berlangsung panjang hingga tahun 2023, evaluasi program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tahun 2020, angka kemiskinan yang tinggi dan belum pulihnya daya beli masyarakat, menjadi catatan Anis.
Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan ini mengingatkan agar BI memiliki komitmen yang tegas dalam pemulihan ekonomi nasional. Sejumlah fakta yang merupakan dampak pandemic mencerminkan beratnya kondisi ekonomi nasional Indonesia.
Ia juga mengingatkan BI untuk meninjau ulang pelaksanaan burden sharing yang dilakukan BI di tahun 2020, dan bagaimana dampaknya bagi neraca BI.
“Seberapa kuat neraca Bank Indonesia mampu menampung Surat Berharga Negara (SBN) underlying asset? Apalagi BI masih menanggung underlying asset dari krisis ekonomi 1997-1998,” ujar Anis.
Kemudian, Anis meminta BI untuk memperbaiki system yang diterapkannya terkait dengan dampak kebijakan moneter yang diambil BI terutama yang bertujuan untuk relaksasi liquiditas bank umum.
Menurut pengamatan Anis, fakta yang terjadi saat ini, liquiditas bank umum relatif longgar namun tidak mendorong mereka menaikkan suku bunga kredit. Pilihannya menempatkan kembali dana mereka ke BI atau membeli SBN.
“Kalau bank umum menempatkan kembali dananya ke Bank Indonesia, artinya kebijakan BI tidak efektif mendorong fungsi intermediasi perbankan. Situasi ini harus diperbaiki,” kata Anis.
Hal lain yang menjadi catatan Anis, mengenai kekuatan Bank Indonesia, OJK dan LPS dalam upaya menekan suku bunga kredit. Anis menyayangkan peranan regulator yang tidak terlihat. Menurutnya, peranan regulator yang terlihat hanya memberikan himbauan moral atau moral suasion perlunya melakukan suku bunga lebih rendah untuk menyambut pemulihan ekonomi.
“Semestinya regulator menjalankan peran yang lebih strategis sehingga mekanisme pergerakan suku bunga kredit tidak selalu mengikuti pasar,” tegasnya.
Wakil ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) ini juga mendorong BI agar lebih banyak berkontribusi dalam penyediaan data UMKM yang lebih akurat.
“Ketersediaan dan akurasi data UMKM menjadi persoalan krusial hari ini,” papar Anis.
Anis mengkhawatirkan ketertinggalan UMKM dalam go digital mengingat tidak tersedianya data yang akurat tentang UMKM.
“Kalau kita sudah masuk dalam go digital, UMKM juga masuk go digital. Tetapi bagaimana UMKM masuk go digital sementara data yang akurat saja belum punya,” tuturnya.
Mengutip data dari Kementerian Koperasi, Anis menyampaikan bahwa UMKM yang bisa masuk go digital baru sebanyak 10 juta dari 64,2 juta unit yang ada di Indonesia. (Bie)