Jakarta, JurnalBabel.com – Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga saat ini tengah dipresentasikan oleh pengusul di Badan Legislasi (Baleg) DPR. RUU ini masuk dafatr program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2020. Draf yang beredar di publik dinilai masih banyak lubang yang harus diperbaiki.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ahmad Tholabi Kharlie, mengatakan draft RUU Ketahanan Keluarga secara umum memberi pesan proteksi negara terhadap warga negara khususnya di lingkup keluarga.
“Namun ada beberapa substansi yang jika dikaji lebih lanjut menjadi masalah krusial. Di poin ini harus ada perbaikan,” saran Tholabi usai diskusi webinar ‘Perlukah Negara Mengatur Keluarga?’ di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jumat (4/9/2020).
Tholabi mengapresiasi konsideran di draf RUU Ketahanan Keluarga yang mendasari pada sejumlah pasal tentang Hak Asasi Manusia (HAM) di UUD 1945 seperti Pasal 28A, 28B, 28C, 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1).
“Kesemuanya masuk kategori HAM Non Derogable Right yakni hak yang tidak bisa dikurangi oleh negara meski dalam keadaan darurat,” urainya.
Hanya saja, Ketua Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Perguruan Tinggi Islam se-Indonesia ini menyayangkan terdapat sejumlah pasal yang justru menimbulkan persepsi yang bertentangan dengan HAM.
“Misalnya di Pasal 16 ayat (1) huruf b, ada kesan negara intervensi urusan private mengenai agama dan keyakinan warga negara,” katanya.
Di bagian lain, Tholabi menambahkan, terdapat juga pasal yang bertentangan dengan semangat pengarustutamaan gender. Ia menyebut di Pasal 25 ayat (2) dan ayat (3) justru memukul mundur upaya-upaya pengarusutamaan gender.
“Norma ini menempatkan laki-laki cukup powerfull dan perempuan dalam posisi komplementer. Pasal bias gender ini baiknya diperbaiki,” saran Doktor Hukum Keluarga Islam ini.
Tholabi juga menyoroti keberadaan pasal 33 ayat (2) yang dinilai tidak memiliki sensitifitas atas persoalan sosial di tengah-tengah masyarakat.
Menurut dia, aturan agar setiap keluarga memiliki ruang tidur terpisah antara orang tua dan anak-anak serta memisah anak laki-laki dan perempuan mengabaikan aspek sosiologis masyarakat khususnya kelompok rentan.
“Norma ini berjarak dari realitas yang ada di tengah-tengah masyarakat. Bagaimana dengan keluarga yang tinggalnya di kontrakan sempit apalagi di tempat yang tidak layak untuk dihuni,” ujarnya.
Di bagian lain, Tholabi juga mencatata terdapat sejumlah norma yang telah diatur di UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) namun kembali diatur dalam RUU Ketahanan Keluarga ini. Meski ia mengakui, aturan di RUU ini lebih detil dan terperinci.
“Baiknya, perumus UU melakukan harmonisasi dengan UU lainnya agar tidak terjadi benturan atau tumpang tindih dengan aturan lainnya,” ujarnya.
Secara umum Tholabi mengapresiasi keberadaan RUU Ketahanan Keluarga. Hanya saja ia mengingatkan keberadaan RUU ini agar tidak memukul mundur spirit Presiden Jokowi tentang reformasi legislasi agar tidak terlalu banyak membuat produk legislasi.
“Perlu dikaji dengan matang keberadaan RUU ini agar tidak bertolak belakang dengan spirit Presiden tentang gagasan reformasi legislasi,” pungkasnya. (Bie)