Jakarta, JurnalBabel.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka peluang menggunakan sidang tanpa kehadiran terdakwa atau lazim disebut sidang in absentia. Sidang ini dapat digelar jika berkas perkara sudah lengkap dan dilimpahkan sementara terdakwa tidak dapat dihadirkan ke persidangan.
Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, menyampaikan wacana sidang in absentia menyusul kegagalan menangkap beberapa orang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Sejauh ini, KPK belum berhasil menangkap politisi PDI Perjuangan, Harun Masiku, mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiono, dan pengusaha Hiendra Soenjoto.
KPK sudah melakukan penggeledahan di beberapa tempat, dan memeriksa orang-orang dekat para tersangka,l hingga kini belum berhasil melakukan penangkapan. Itu sebabnya, KPK mewacanakan sidang in absentia.
Ahli hukum pidana, Azmi Syahputra, mengatakan secara yuridis in absentia diatur dalam Pasal 38 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Pasal 38 ayat (1) menyebutkan, “Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya”.
Dasar hukum selanjutnya yakni Pasal 196 UU KUHAP yang berbunyi “1) Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang ini menentukan lain.
(2) Dalam hal terdapat Iebih dari seorang terdakwa dalam satu perkara, putusan dapat diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada.
(3) Segera sesudah putusan pemidanaan diucapkan, bahwa hakim ketua sidang wajib memberitahukan kepada terdakwa tentang segala apa yang menjadi haknya, yaitu:
a. hak segera menerima atau. segera menolak putusan;
b. hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini;
c. hak minta menangguhkan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan;
d. hak minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini, dalam hal Ia menolak putusan;
e. hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini.”
Lebih lanjut Azmi menilai kebijakan ini sama artinya seperti aparat penegak hukum negara kalah, intelijen negara gagal, tidak bisa mengungkap pelaku kejahatan, membongkar motif para pelaku. “Terkesan in absentia hanya mengalihkan beban tanggung jawab KPK ,yang semestinya bisa mengurai detail motif para pelaku dan menangkap pelaku segera,” ujar Azmi Syahputra saat dihubungi di Jakarta, Senin (9/3/2020).
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Karno Jakarta ini menjelaskan sifat sidang peradilan itu terbuka agar publik menjadi tahu sebab musabab suatu peristiwa. Sehingga, sebutnya, in absentia itu semestinya baru dapat dilakukan KPK jika perkara sudah jelas dan alurnya terang.
“Seharusnya KPK mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi. Kalau masih tertutup seperti saat ini, masih abu-abu kan fakta dan posisi kasus, karena keterangan Harun Masiku dan Nurhadi sangat penting guna mengurai kejelasan,” katanya.
Menurut Azmi, kasus ini akibat salah satu dampak dari perubahan UU KPK. Pasalnya, komisioner KPK dan penyidik memiliki langkah yang terbatas yakni adanya Dewan Pengawas KPK. Pada akhirnya kerja KPK saat ini tidak bisa cepat karena penanganan perkara harus ada izin atau persetujuan dewan pengawas.
“KPK hanya jadi lembaga supporting karena kekuasaan dan jadi berfungsi jika diizinkan oleh dewan pengawas. KPK seperti hilang atau mengalangi gangguan fungsi,” tuturnya.
Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) ini menduga para penyelenggara penegak hukum kehabisan energi untuk berhadapan dengan pemegang kekuasaan yang rentan melindungi kepentingan tertentu dalam kasus Harun Masiku dan Nurhadi.
“Ini semakin menunjukkan lemahnya KPK, yang seperti hilang kekuatan, kurang kecepatan dan kehilangan nyali karena perkara ini dilakukan oleh orang yang berada di area kekuasaan,” katanya.
Maka dari itu Azmi Syahputra meminta KPK harus menemukan pelaku apapun alasannya. “KPK sebagai lembaga yang dipercaya, seharusnya menunjukkan kinerjanya lebih maksimal. Ini kan ujian KPK dan saatnya KPK tunjukkan bukti bahwa bertaji,” katanya
Azmi juga meminta Komisi III DPR sebagai mitra kerja KPK harus memanggil KPK untuk minta penjelasan terkait kasus ini. (Bie)
Editor: Bobby