Jakarta, JurnalBabel.com – Kinerja BUMN tahun 2021 memperoleh laba bersih sebesar Rp126 triliun. Capaian laba sebesar tersebut patut diapresiasi karena tahun 2021 Indonesia belum lepas dari Pandemi Covid 19. Namun demikian, kontribusi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk pendapatan negara sampai saat ini belum optimal.
Hal itu terlihat dari nilai return on asset (ROA) tahun 2021 hanya sebesar 1,36%, dihitung dari total laba bersih tersebut berbanding total aset Rp 9.295 triliun. Kalau mengacu pada suku bunga deposito sebesar 4% seharusnya laba BUMN bisa mencapai diatas Rp372 triliun setahun.
Belum optimalnya kinerja BUMN disebabkan oleh belum diterapkannya prinsip-prinsip tatakelola perusahaan yang baik (GCG) secara penuh.
“BUMN harus dikelola lebih profesional, terbebas dari kepentingan politik maupun politik kepentingan termasuk ajang balas budi. Penunjukan SDM pengelolanya, baik direksi maupun komisaris, haruslah mengutamakan pertimbangan profesionalitas,” kata Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PKS, Amin Ak, Selasa (14/6/2022).
Lebih lanjut Amin mengatakan, BUMN dituntut memberikan kontribusi besar bagi pendapatan negara maupun pertumbuhan ekonomi nasional. Apalagi setiap tahun, negara menyuntikan dana puluhan triliun kepada BUMN.
Merujuk data Kementerian Keuangan, pada tahun 2022, negara menggelontorkan Rp 38,4 triliun dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sedangkan tahun 2021 tercatat sebesar Rp 71,2 triliun, sementara pada 2020 sebesar Rp 31,3 triliun.
“Idealnya, BUMN bisa memberikan dividen berkali lipat dari PMN. Atau paling tidak mampu memberikan benefit besar bagi perekonomian rakyat maupun pemenuhan hajat hidup rakyat banyak,” tegas Amin.
Sebagai gambaran, 2021 lalu, total dividen yang diberikan BUMN ke negara hanya mencapai Rp29,5 triliun atau 41,4% dari dana PMN tahun 2021. Kemudian tahun 2022, ada peningkatan rasio dividen terhadap PMN menjadi 104%, namun kenaikan tersebut belum signifikan.
Tahun ini pemerintah mengajukan PMN sebesar Rp73, 26 triliun dengan target dividen Rp45 triliun. Dengan demikian, proyeksi rasionya hanya 61,4%.
Amin mengingatkan pemerintah untuk memprioritaskan PMN bagi BUMN yang memberikan benefit besar bagi perekonomian rakyat, menopang stabilitas stok dan harga kebutuhan pokok rakyat, dan menyediakan lapangan kerja besar.
“Bagaimana pun misi BUMN itu menjadi benteng perekonomian nasional dan menjadi sandaran bagi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah,” kata Amin.
Lebih lanjut ia menekankan, pengelolaan BUMN harus memenuhi prinsip-prinsip good governance dan dijalankan dengan mekanisme dan strategi yang menguntungkan perseroan atau negara, bukan untuk kelompok tertentu.
Sebagai benteng ekonomi nasional, BUMN harus fokus dalam membenahi permasalahan perekonomian mulai dari pemulihan ekonomi nasional, membuka lapangan kerja, hingga memastikan kestabilan harga pangan.
“Sebagai alat negara, BUMN harus proaktif mendorong terjangkaunya harga-harga bahan pokok dan mampu menciptakan lapangan kerja baru,” tegasnya.
Amib mengatakan keberadaan BUMN sejatinya sangat dibutuhkan terutama untuk yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pertamina, PLN, Kereta Api, dan sejumlah BUMN yang memberikan pelayanan kepada publik mutlak masih diperlukan untuk kepentingan rakyat.
Terkait penugasan pemerintah, kata Amin, seharusnya proyek infrastruktur yang dibebankan haruslah direncanakan dengan sebaik-baiknya. Kasus membengkaknya nilai proyek kereta cepat Jakarta Bandung, adalah contoh buruk perencanaan proyek infrastruktur, yang pada akhirnya membebani BUMN.
Demikian juga pelepasan hak kelola sejumlah ruas tol ke pihak asing yang semestinya menjadi mesin penghasil cuan bagi BUMN. Menurut Amin, Indonesia bisa belajar dari China, di mana BUMN di sana mampu mengubah China dari negara yang dilanda kemiskinan (82% kemiskinan 1980) menjadi ekonomi terbesar kedua di dunia tanpa kemiskinan.
Meskipun, kesuksesan besar dan pengenalan sektor swasta, BUMN masih menjadi sumber utama ekonomi dan pada data tahun 2021, kontribusi BUMN terhadap PDB China adalah 32 persen (hampir US$ 6 triliun).
“Banyak BUMN kita salah kelola, dan tidak maksimal sehingga justru menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan inefisiensi, tak heran banyak BUMN bangkrut dan membebani negara lewat penyertaan modal negara,” pungkasnya. (Bie)