Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi VI DPR, Amin Ak mengingatkan janji Menteri BUMN Erick Thohir untuk memperkuat riset dan pengembangan (R &D) pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) termasuk BUMN Pangan pasca restrukturisasi.
Salah satu pekerjaan rumah mendesak bagi BUMN Pangan saat ini adalah mendongrak produktivitas kedelai lokal yang saat ini hanya separuh dari produktivitas kedelai impor.
Berdasarkan data Badan Pusat Statitsik (BPS), produktivitas kedelai lokal saat ini hanya 1,5 ton – 2 ton per hektare. Sedangkan produktivitas kedelai impor mencapai 4 ton per hektare.
Sementara itu, data IPB University mengungkapkan, sekitar 70 persen kedelai dialokasikan untuk produksi tempe, 25 persen untuk produksi tahu, dan sisanya untuk produk lain. Sementara itu, rata-rata kebutuhan kedelai di Indonesia mencapai 2,8 juta ton per tahun.
Dalam sejarah, puncak produksi kedelai lokal terjadi tahun 1992 silam yang mencapai 1,87 juta ton. Sehingga jika Indonesia mampu kembali ke produksi 1,8 juta ton per tahun, maka impor kedelai hanya sekitar 1 juta ton saja.
Amin pun yakin, jika bersungguh-sungguh ingin membangun kemandirian pangan, BUMN Pangan mampu mewujudkan misi tersebut.
“BUMN Pangan harus memperkuat riset kedelai dan bersinergi dengan perguruan tinggi maupun Litbang Pertanian untuk menghasilkan benih unggul. Saya dengar, Balitbang Pertanian sudah mampu menghasilkan benih dengan produktivitas 3 – 3,5 ton per ha, harusnya teknologi ini bisa diadopsi dan dikembangkan bersama,” ujar Amin dalam keterangan tertulisnya, Minggu (10/1/2020).
Selain problem produktivitas, faktor harga jual di tingkat petani dinilai berpengaruh besar terhadap pengembangan kedelai lokal. Oleh karena dianggap tidak menguntungkan, petani pun memilih menanam komoditas lain.
Maka penguatan riset kedelai, kata Amin, juga harus didukung kebijakan yang bisa menghasilkan model budidaya kedelai yang efisien dan ekonomis.
“Efisiensi produksi akan menjadi insentif agar petani memperoleh pendapatan yang lebih baik, sehingga mereka bergairah menanam kedelai,” kata politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Berdasarkan data BPS tahun 2017, biaya produksi kedelai berkisar antara Rp9 juta – Rp9,5 juta per ha. Jika produktivitas hanya 1,5 ton maka, biaya produksi per ton mencapai Rp6,3 juta atau sekitar Rp6.300 per kg. Sedangkan jika produktivitasnya mencapai 2 ton/ha, maka biaya produksi bisa ditekan menjadi Rp4,75 juta per ton atau Rp4.750 per kg.
Sementara itu, menurut data Gabungan Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo), harga kedelai impor di gudang Bulog sebelum terjadi kenaikan berkisar Rp6.000 – Rp7.000 per kg.
“Artinya jika ingin kompetitif, biaya produksi kedelai lokal idealnya dibawah Rp5.000 per kg, sehingga dengan harga jual Rp6.000 – Rp7.000, maka petani sudah bisa untung,” tuturnya.
Harga kedelai impor sendiri sejak Agustus lalu terus merangkak naik dari Rp8.200 per kg kini sudah mencapai Rp9.000 per kg. Kondisi ini, kata Amin, harusnya menjadi peluang bagi peningkatan produksi kedelai lokal.
Di sisi hilir, para pengrajin tahu dan tempe membutuhkan kedelai kualitas nomor wahid karena mempengaruhi efisiensi produksi. Seperti dikatakan Ketua Umum Gakoptindo, Aip Syaifudin, kedelai kualitas pertama bisa menghasilkan 1,7 potong tempe per kilogram kedelai. Sedangkan kualitas kedua hanya menghasilkan tempe 1,5 potong per kilogram kedelai.
“Saya minta BUMN Pangan bekerja keras memperbaiki tata kelola bisnis kedelai, mulai dari model budidaya yang efisien hingga tata niaga yang menguntungkan petani maupun industri tahu dan tempe,” pungkas legislator asal Jawa Timur ini. (Bie)