Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi III DPR Pangeran Khairul Saleh meminta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengkaji ulang bebaskan narapidana koruptor usia di atas 60 tahun dan narapidana narkotika sebagai upaya pencegahan wabah virus corona atau Covid-19 di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) maupun rumah tahanan (rutan).
Pasalnya, kata Pangeran, lapas/rutan koruptor tidak melebih kapasitas seperti lapas/rutan narkotika atau tindak pidana lainnya, sehingga angka penularan terhadap Covid-19 bisa di atasi dengan sangat baik.
“Untuk rencana Menkumham membebaskan Narapidana koruptor diatas 60 tahun menurut saya kebijakan tersebut perlu dikaji ulang dan di putuskan secara cermat dan berkeadilan,” ujar Pangeran Khairul Saleh saat dihubungi, Kamis (2/4/2020).
“Mungkin usul dari saya jika ingin membebaskan koruptor 60 tahun ke atas jika yang masa tahanannya akan berakhir di Desember 2020,” lanjutnya.
Begitu juga bagi narapidana narkotika. Legislator dari daerah pemilihan Kalimantan Selatan I ini menyatakan narkotika yang dari awal jelas dan mutlak diperangi oleh negara kita, harus dirundingkan secara matang. Pasalnya, kebijakan ini bagaikan dua sisi mata koin yang diseimbangkan mengingat disamping sisi kemanusiaan.
“Namun narkoba jelas merupakan musuh bersama dikhawatirkan si napi akan melakukan tindakan kriminal yang sama setelah dibebaskan,” katanya.
Dari total narapidana yang mencapai 260 ribu orang, 129 ribu narapidana adalah kasus narkotika. Dari 129 ribu narapidana narkotika, 51 ribu di antaranya adalah pemakai.
Menurutnya, jika memang target Menkumham untuk pengurangan jumlah napi di lapas yang sudah kelebihan kapasitas, maka paling tepat adalah menyoroti napi narkotika yang kategorinya pemakai.
Karena berdasarkan ketentuan hukum, pemakai atau korban penyalahgunaan narkoba dapat diberikan rehabilitasi alih-alih dipenjarakan.
“Jadi, menurut saya, Menkumham tidak perlu tergesa-gesa untuk mengusulkan revisi PP 92/2012 hanya untuk memberikan keringanan hukuman pada koruptor,” pungkas Ketua DPP PAN ini.
Sebelumnya Menkumham Yasonna Laoly berencana merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Hal itu dikarenakan napi koruptor dan narkotika, yang tata laksana pembebasannya diatur lewat PP itu, tidak bisa ikut dibebaskan bersama 30.000 napi lain dalam rangka pencegahan Covid-19 di lembaga pemasyarakatan (lapas).
“Karena ada beberapa jenis pidana yang tidak bisa kami terobos karena Peraturan Pemerintah Nomor 99/2012,” kata Yasonna dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR yang digelar virtual, Rabu (1/4/2020).
Untuk diketahui, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 untuk membebaskan 30.000 napi dewasa dan anak.
Dalam kepmen tersebut, dijelaskan bahwa salah satu pertimbangan dalam membebaskan para tahanan itu adalah tingginya tingkat hunian di lembaga pemasyarakatan, lembaga pembinaan khusus anak, dan rumah tahanan negara sehingga rentan terhadap penyebaran Covid-19.
Akan tetapi, napi khusus kasus korupsi dan narkotika tidak bisa karena terganjal PP 99/2012. Itulah sebabnya mengapa Yasonna ingin PP tersebut direvisi.
Kriteria ketat yang dimaksud Yasonna antara lain, pemberian asimilasi bagi napi narkotika dengan masa pidana 5-10 tahun dan telah menjalani 2/3 masa pidananya. Ia memperkirakan ada 15.422 napi narkotika yang memenuhi syarat tersebut untuk diberikan asimilasi. (Bie)
Editor: Bobby