Jakarta, JurnalBabel.com – BPS mencatat impor baja pada semester I-2021 meningkat 51,18% atau mencapai US$ 5,36 miliar dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Anggota Komisi VI DPR, Amin Ak, khawatir kenaikan volume impor besi dan baja akan terus berlanjut sepanjang tahun 2021.
Ia pun mendesak Pemerintah mengambil langkah tegas dalam hal pengawasan penggunaan baja impor.
Untuk mengatasi dampak negatif terhadap industri nasional, ketentuan mengenai tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) khususnya besi dan baja seharusnya dipatuhi seluruh pelaksana pekerjaan konstruksi yang dibiayai menggunakan anggaran pemerintah (APBN/ APBD).
“Pengawasan bisa melibatkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengaudit pekerjaan-pekerjaan konstruksi yang dibiayai APBN, APBD, dan BUMN agar program peningkatan TKDN dapat direalisasikan,” ujar Amin Ak dalam keterangan tertulisnya, Rabu (22/9/2021).
Lebih lanjut Amin mengungkapkan, defisit neraca perdagangan baja saat ini sangat terkait dengan tiga hal yakni harga, kualitas, dan upaya perlindungan/proteksi terhadap produksi baja dalam negeri.
Harga jual baja produksi Industri dalam negeri kalah bersaing dengan baja impor seperti baja asal China dan Vietnam. Baja impor asal China misalnya, harganya 28% lebih murah dibandingkan baja dalam negeri.
Mengapa harga baja China lebih murah? Pertama, pemerintah China memberikan insentif berupa potongan pajak (tax rebate) bagi pengusaha yang melakukan ekspor yang besarnya mencapai 13-15%.
Ekspor ini ditujukan kepada pengusaha yang mengekspor baja paduan (alloy). Baja paduan sendiri ialah baja khusus yang biasanya digunakan untuk rel kereta api, komponen alat berat, dan lain-lain.
Kedua, pemerintah menerapkan kebijakan bebas bea masuk impor baja paduan karena Indonesia belum bisa memproduksi baja paduan.
Ketiga, sebagian bahan baku industri baja di dalam negeri masih harus dipenuhi dari impor sehingga berdampak pada biaya produksi dan harga jual yang tinggi.
Saat ini industri baja dalam negeri terutama Krakatau Steel mengimpor bahan baku industri baja berupa slab, billet, dan bloom yang volumenya mencapai 3 juta ton.
Mengenai rendahnya daya baja lokal dari sisi kualitas, hal itu terkait erat dengan penguasaan teknologi yang tertinggal dibandingkan sejumlah negara produsen baja seperti China dan Vietnam.
Sebagai contoh, Krakatau Steel tidak mampu menghasilkan produk-produk baja engineering steel yang dibutuhkan sebagai bahan baku produk-produk bernilai tambah tinggi seperti otomotif, permesinan, pertahanan, penerbangan, pengeboran minyak dan peralatan-peralatan khusus. Jenis baja seperti ini saat ini harus dipenuhi dari produk impor.
Selain itu, lanjut Amin, proteksi atau perlindungan produk baja dalam negeri masih lemah serta pengawasan terhadap impor baja juga lemah.
Berdasarkan jenisnya, terdapat dua jenis baja yang digunakan di Indonesia, yakni baja untuk kebutuhan konstruksi dan baja untuk teknik atau engineering. Jenis baja untuk kebutuhan teknik, saat ini lebih banyak digunakan untuk industri otomotif dan elektronika.
Akibat pengawasan yang lemah, banyak pengusaha yang memanfaatkan celah sehingga mereka mengimpor baja dengan dalih untuk kebutuhan engineering seperti otomotif dan elektronika, namun sebetulnya baja impor tersebut digunakan proyek konstruksi.
Wakil Rakyat dari Dapil Jatim IV itu pun menyampaikan sejumlah solusi. Pertama, memberikan insentif dan menerapkan bea masuk tinggi bagi produk baja impor untuk melindungi produksi dalam negeri.
Kedua mengupgrade kemampuan teknologi industri baja dalam negeri agar kualitas produk yang dihasilkan tidak kalah dengan kualitas produk impor, bisa memenuhi kebutuhan dunia industri di dalam negeri.
Terkait penguasaan teknologi, itu juga mencakup kemampuan untuk memanfaatkan cadangan pasir besi yang besar di Pantai Jawa dan beberapa daerah lainnya. Saat ini pasir besi itu belum bisa diolah karena belum dikuasainya teknologi pengolahan pasir besi menjadi baja.
“Ini bisa menjadi solusi untuk bahan baku yang saat ini belum bisa diproduksi di dalam negeri,” kata Amin.
Selanjutnya Amin juga mendesak pemerintah untuk berkomitmen menekan biaya produksi dan biaya logistik agar harga jual produk bisa lebih murah.
Sementara itu kewajiban memenuhi porsi TKDN pada proyek konstruksi pemerintah pusat maupun daerah, sangat efektif untuk mendorong produsen lokal masuk ke pengadaan barang jasa proyek pemerintah maupun BUMN.
(Bie)