Jakarta, JurnalBabel.com – Komisi IX DPR yang membidangi masalah kesehatan mendesak pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) meneliti apakah benar atau tidak ganja dapat dimanfaatkan untuk kepentingan medis.
Hal itu perlu dilakukan untuk menjawab kesimpangsiuran di masyarakat mengenai manfaat ganja untuk kegunaan medis.
Sekaligus apakah perlu ganja tidak lagi masuk dalam kategori narkotika golongan I seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. UU tersebut pun saat ini masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2020.
Belum lama ini juga menjadi polemik di masyarakat terkait Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo menetapkan tanaman ganja sebagai satu di antara tanaman obat komoditas binaan Kementerian Pertanian (Kementan).
Ketetapan itu tercantum dalam Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 tentang Komoditas Binaan Kementerian Pertanian yang ditandatangani Menteri Syahrul sejak 3 Februari lalu.
Namun, Kementan memutuskan mencabut sementara Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 yang melegalkan ganja menjadi tanaman obat.
Hal serupa pernah didesak oleh anggota Komisi VI DPR RI Fraksi PKS, Rafli. Bahkan ia mendesak lebih tegas lagi: memberikan akses legal agar ganja bisa diekspor ke luar negeri untuk kebutuhan medis.
Hal tersebut ia katakan dalam rapat bersama Menteri Perdagangan Agus Suparmanto di DPR RI, 30 Januari lalu. Menurutnya, di Aceh ganja tumbuh subur dan dapat memanfaatkannya untuk diekspor ke luar negeri.
Di sejumlah negara seperti Jerman, Portugal, dan Argentina, ganja boleh dikonsumsi dengan aturan-aturan yang ketat. Kepemilikan ganja dalam takaran ringan tak akan membuat orang dipenjara atau didenda.
Di negara lain seperti Australia, Belgia, Perancis, Meksiko, Selandia Baru, Slovenia, Spanyol, dan Sri Lanka, ganja hanya legal untuk konsumsi medis. Sementara di Amerika Serikat, ganja legal di beberapa negara bagian.
Lingkar Ganja Nusantara (LGN), salah satu lembaga independen yang fokus kampanye pemakaian ganja untuk medis, mengatakan salah satu manfaat pengunaan ganja adalah bisa menjadi obat alternatif pengganti opioid–obat pereda rasa sakit yang terbuat dari tanaman opium seperti morfin.
Legalnya ganja medis di beberapa negara di dunia telah menurunkan dosis harian penggunaan opioid sebesar 2.21 juta per tahun. Penurunan dosis harian penggunaan opioid mencapai 3.74 juta per tahun,” tulis LGN dalam salah satu artikelnya, mengutip studi JAMA Internal Medicine.
Tak hanya itu, kata LGN, beberapa penyakit radang sendi, diabetes, hingga pengidap autisme mendapat manfaat positif dari ganja yang digunakan secara hati-hati dan bijak.
Beberapa warga Indonesia bahkan sempat menggunakan ganja untuk kebutuhan medis karena dianggap memiliki khasiat, seperti Reynhart Rossy Siahaan dan Fidelis. Namun, nasib mereka sial. Mereka dikriminalisasi.
Anggota Komisi IX DPR, Anggia Erma Rini, mengatakan kemarin Komisi IX bertemu dengan Badan Penelitian Obat dan Makanan (BPOM). Salah satu yang ditanyakan teman-teman tentang isu ganja untuk medis. Kan sudah lama isu ini, kalau itu benar bermanfaat kemudian ada aturannya. Misalnya ada studinya, tapi sampai saat ini belum ada penelitian.
“Maka kami akan nagih juga BPOM dan Kemenkes lah akan kami tagih juga dalam rapat. Supaya ini tidak liar gitu loh,” kata Anggia di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (8/9/2020).
“Benar gak sih ganja ini mempunyai efek bagus untuk kesehatan. Berapa besar manfaat dan mudarotnya itu dilihat. Seharusnya sudah ada studi tentang itu,” tambahnya.
Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini mengaku pihaknya sudah berkali-kali menanyakan hal ini kepada BPOM.
“Tetapi belum ada jawaban. Kemarin sudah menanyakan dengan BPOM. Kalau Kementerian Kesehatan (Kemenkes) belum karena Kementan asyik-asyik seru,” ujarnya.
Ditempatnya yang sama, anggota komisi IX DPR Nur Nadlifah menambahkan segala sesuatu untuk obat bisa dilakukan. Di agama Islam misalnya, babi pun untuk obat boleh. Namun ia meminta hal itu dilakukan apabila benar-benar terdesak. Misalnya apabila di hutan tinggal hanya dengan ganja, untuk bertahan hidup mau tidak mau harus memakan ganja.
“Artinya segala macam sumber obat kalau itu untuk menyembuhkan penyakit kenapa tidak. Kalau ada obat yang lain, pakai dulu yang lain. Kalau sudah mentok misalnya di tengah hutan, misalnya ganja itu. Mau mati atau mau hidup,” kata Nur Nadlifah.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi PKB ini menegaskan bahwa hal ini untuk yang positif, bukan untuk hal yang negatif.
“Itu kan untuk menyembuhkan bukan untuk membuat rusak. Dan buat untuk bertahan hidup,” pungkas legislator asal Jawa Tengah ini. (Bie)