Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PKS, Amin Ak mendorong Kementerian Perdagangan (Kemendag) membuat kajian aspek hukum atau legalitas secara komprehensif terkait rencana ekspor tanaman herbal Kratom ke Amerika Serikat (AS).
Menurutnya, hal itu penting agar tidak menimbulkan persoalan ataupun gugatan dari Lembaga internasional mengingat tanaman ini dikategorikan jenis narkotika level 1.
Sebagaimana diketahui, Kemendag berencana membuka keran ekspor tanaman herbal Kratom untuk memenuhi permintaan dari AS. Mendag Zulkifli Hasan atau Zulhas menyatakan sudah menyanggupi permintaan Kratom dari AS, dengan alasan tidak ada larangan tentang hal tersebut.
Menurut Zulhas, soal Kratom itu akan digunakan untuk apa, itu terserah pihak AS. Bagi Mendag, yang penting petani Indonesia bisa diuntungkan dari adanya ekspor Kratom ke AS.
Namun Amin mengingatkan bahwa penggunaan Kratom di AS sendiri masih menuai pro kontra. Di banyak negara, penggunaannya masih sangat dibatasi mengingat kandungan zat narkotika di dalamnya.
“Kalau payung hukumnya internasionalnya sudah aman, silahkan saja ekspor Kratom dilakukan. Yang penting, jangan sampai menimbulkan masalah di kemudian hari,” tegas Amin dalam keterangan tertulisnya, Senin (4/8/2023).
Karena itu Amin mendorong Kemendag untuk membahas persoalan ini dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Hukum dan HAM, dan Badan Narkotika Nasional (BNN).
Menurut Amin, setiap negara mempunyai karakteristik tersendiri dalam memutuskan suatu pelegalisasian tanaman yang mengandung narkotika untuk pelayanan kesehatan. Karena itu tidak dapat disamakan satu negara dengan negara lainnya.
Kratom saat ini oleh Drug Enforcement Administration milik AS masih terdaftar sebagai Obat dan Bahan Kimia yang menjadi perhatian khusus mengingat risiko penyalahgunaannya. Pemerintah AS sendiri mengingatkan warganya terkait penggunaan Kratom.
Berdasarkan catatan Lembaga Pengawas Makanan dan Obat (FDA) AS, tahun 2017 pernah muncul 44 kasus kematian akibat penggunaan Kratom.
Pada tahun 2013, UNODC, lembaga PBB yang menangani permasalahan narkoba, telah memasukan Kratom ke dalam new psychoactive substances (NPS) kategori Plant-based Substances.
NPS adalah jenis zat psikoaktif baru yang ditemukan namun regulasinya belum jelas atau masih dalam proses. “Dengan masuknya kratom ke dalam salah satu jenis NPS, maka penanganan penyalahgunaan kratom perlu menjadi perhatian,” ujar Amin.
Badan Narkotika Nasional (BNN) juga telah menetapkan Kratom sebagai NPS di Indonesia dan merekomendasikan Kratom untuk dimasukkan ke dalam narkotika golongan I dalam Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Penggolongan ini didasarkan pada efek kratom yang berpotensi menimbulkan ketergantungan dan sangat berbahaya bagi kesehatan. BNN sendiri mengemukakan bahwa efek kratom 13 kali lebih berbahaya dari morfin.
Wakil Rakyat dari Dapil Jatim IV itu tidak menampik besarnya potensi ekonomi dari peradagangan Kratom saat ini. Berdasarkan data tahun 2019, ada sekitar 15,6 juta orang Amerika mengonsumsi kratom.
“Saat ini Kratom banyak tumbuh secara luas terutama di Kalimantan. Oleh karena itu potensi ekonominya memang sangat besar,” ungkapnya.
Kratom telah digunakan secara tradisional sebagai obat herbal untuk meredakan nyeri, meningkatkan energi, dan membantu mengatasi masalah tidur. Beberapa pengguna juga melaporkan bahwa kratom membantu mereka mengatasi masalah seperti kecemasan, depresi, dan gangguan mood lainnya.
Di Asia Tenggara yang merupakan negara tempat tumbuhnya Kratom, Masyarakat biasa mengunyah, mengonsumsi, atau membuat teh dan konsentrat dari daunnya. Kratom digunakan untuk pengobatan, pemulihan energi, dan mengatasi keracunan.
Saat ini di AS dan di sejumlah negara lainnya, tersedia dalam bentuk serbuk yang diekstrak dari daun kering dan bentuk kapsul. Kratom mengandung alkaloid aktif mitragynine dan 7-hydroxymitragynine, yang mengaktifkan reseptor opioid sentral untuk mengurangi rasa sakit.
“Kehatian-hatian diperlukan agar bisnisnya aman baik dari sisi hukum maupun kesehatan. Jangan sampai ekspektasi petani sudah tinggi, namun kemudian ada persoalan hukum internasional sehingga ekspor batal bahkan menimbulkan masalah di kemudian hari,” pungkas Amin.
(Bie)