Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi III DPR, Santoso, meminta Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo dan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin harus turun tangan terkait kasus penetapan mantan Kepala Urusan (Kaur) Keuangan Desa Citemu, Nurhayati, sebagai tersangka oleh Polres Cirebon pada akhir 2021.
Nurhayati ditetapkan sebagai tersangka karena melaporkan dugaan korupsi dana desa di Desa Citemu, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp800 juta dari 2018 hingga 2020. Pada perkara ini, Polres Cirebon Kota telah menetapkan Kepala Desa Citemu, Supriyadi, sebagai tersangka.
“Kapolri dan Jaksa Agung diharapkan dapat turun tangan agar pelapor tidak dijadikan tersangka,” kata Santoso saat dihubungi, kemarin.
Selain itu, Santoso mengatakan, aparat yang melakukan penyidikan terhadap kasus Nurhayati tersebut juga perlu diberikan sanksi tegas jika memang terbukti melakukan kelalaian.
“Memberi sanksi kepada para penyidik yang tidak profesional yang menyebabkan pelapor jadi tersangka,” tuturnya.
Lebih lanjut, Santoso mengatakan, dengan ditetapkan Nurhayati sebagai tersangka, terkesan para pelaku korupsi memiliki kekuatan yang kuat. Hal itu juga menandai para pelaku korupsi bisa masih bisa berlindung.
“Dalam kejadian ini mencerminkan bahwa para pelaku korupsi memiliki kekuatan yang signifikan untuk melindungi dirinya dengan menjadikan pelapor sebagai tersangka,” ujarnya.
Santoso juga menilai, kasus yang dialami Nurhayati tersebut cerminan dari penegak hukum yang bekerja berdasarkan interprestasinya sendiri.
“Ini cermin penegak hukum di Indonesia bekerja berdasar interprestasinya sendiri tidak mempertimbangkan faktor sosiologis dan fisiologis atas kasus yang terjadi,” sesalnya.
Santoso justru curiga penegak hukum menetapkan Nurhayati sebagai tersangka tersebut bekerja berdasarkan pesanan. Sebab, dalam waktu yang bersamaan Nurhayati ditetapkan sebagai tersangka saat melaporkan kasus dugaan korupsi.
“Pelapor kasus korupsi kemudian dijadikan tersangka dalam waktu yang hampir bersamaan dengan yang dilaporkan ini jelas aparat (polisi) penegak hukum bekerja berdasarkan request (pesanan) dari para pihak yang dilaporkan oleh Nurhayati sebagai pelapor,” ungkapnya.
Politisi Partai Demokrat ini berharap kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk proaktif melindungi Nurhayati.
“Karena peristiwa ini sangat mencederai nurani rakyat dan akan menjadi preseden buruk bagi masyarakat yang akan melaporkan kasus-kasus korupsi,” katanya.
Kasus ini mencuat setelah Nurhayati menyampaikan kekecewaannya pada aparat penegak hukum karena telah ditetapkan sebagai tersangka pada akhir 2021. Video kekecewaannya itu lantas viral di media sosial dan menyita perhatian publik.
Di sisi lain, Kapolres Cirebon Kota AKBP M Fahri Siregar menyampaikan bahwa proses penetapan tersangka itu sudah sesuai prosedur dan kaidah hukum.
Fahri menyebut penerapan tersangka itu sesuai dengan petunjuk dari JPU untuk melengkapi berkas laporan Supriyadi yang masih berstatus P19.
Ia menuturkan dalam hukum pidana, diatur adanya kewajiban bagi penyidik untuk melengkapi berkas sesuai petunjuk JPU.
Pihak kepolisian menduga Nurhayati turut melakukan dan terlibat karena telah 16 kali menyerahkan anggaran ke Supriyadi, padahal anggaran itu mestinya diberikan ke Kasi Pelaksanaan Kegiatan.
Tindakan korupsi yang dilakukan Supriyadi diduga merugikan keuangan negara mencapai Rp 818 juta. (Bie)