Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) Ashabul Kahfi menyarankan pemerintah menghentikan program Kartu Prakerja hingga pandemi Covid-19 mereda bahkan berakhir. Sebab itu, ia sepakat dengan KPK yang kemarin mengumumkan hasil kajian dan menemukan berbagai permasalahan dalam program Kartu Prakerja.
Pada akhirnya, KPK merekomendasikan gelombang ke-4 program tersebut dihentikan sementara sampai evaluasi dari gelombang sebelumnya selesai dilakukan dan dilakukan perbaikan untuk kelanjutan program.
“Saya setuju dengan rekomendasi KPK tersebut,” kata Ashabul Kahfi dalam keterangan tertulisnya, Jumat (19/6/2020).
Berdasarkan pemaparan KPK kemarin, ada empat hal yang perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah terhadap program Kartu Prakerja ini. Pertama, proses pendaftaran. KPK menemukan penyelenggara Kartu Prakerja belum mengoptimalisasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) untuk validasi peserta.
Kedua, platform digital sebagai mitra kerja dalam program kartu Prakerja. KPK menemukan adanya kekosongan hukum untuk pemilihan dan penetapan mitra yang menggunakan Daftar Isian Pelaksana Anggaran Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (DIPA BA-BUN). Padahal Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah hanya untuk Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) yang menggunakan DIPA Kementerian/Lembaga.
KPK juga melihat adanya potensi masalah pada penunjukan platform digital yang tidak dilakukan oleh penyelenggaraan Kartu Prakerja dan konflik kepentingan antara platform digital dan lembaga pelatihan. Ketiga, konten. KPK menemukan banyak konten pelatihan kartu Prakerja yang tidak layak. Beberapa konten juga tersedia secara gratis di YouTube dan konten pelatihan tidak melibatkan ahli.
Keempat, tataran pelaksanaan. KPK menilai metode pelaksanaan program pelatihan berpotensi fiktif, tidak efektif, dan merugikan keuangan negara.
Lebih lanjut Legislator dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan ini memaparkan 5 alasan mengapa sepakat dengan rekomendasi lembaga antirasuah tersebut. Pertama, sejak awal ia sudah mengingatkan bahwa terjadi kekosongan peraturan yang menjadi dasar hukum penunjukan mitra. Sebab, katanya, Perpres Nomor 36 Tahun 2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja Melalui Program Kartu Prakerja dan Peraturan Menko Perekonomian Nomor 3 Tahun 2020 sebagai aturan pelaksana, sama sekali tidak menjelaskan mengenai mekanisme penunjukan mitra.
“Akibatnya, kriteria yang menjadi tolok ukur sebuah aplikasi layak menjadi mitra dan tidak menjadi misterius. Tidak ada persaingan yang sehat dan secara adil,” kata Ashabhul Kahfi dalam keterangan tertulisnya, Jumat (19/6/2020).
Kedua, jenis pelatihan yang tersedia dalam program Kartu Prakerja sebanyak 2.055 pelatihan dari 198 lembaga melalui 8 platform mitra Kartu Prakerja. Menurutnya, sudah banyak pihak yang melakukan penelusuran, termasuk KPK, bahwa paket-paket yang ditawarkan Program Kartu Pra Kerja disinyalir beberapa materi pelatihan yang ditawarkan mirip konten gratisan yang beredar di YouTube.
Sebagai contoh, pelatihan cara menulis email, laporan, cara berbicara depan umum, pelatihan Bahasa Inggris untuk Ojek Online, langkah menjadi YouTuber profesional, belajar Microsoft Excel untuk UMKM, dll.
“Bahkan ada Youtuber pernah merekomendasikan sejumlah channel Youtube dengan materi pelatihan serupa untuk masyarakat yang tidak lolos seleksi Kartu Prakerja,” ungkapnya.
Ketiga, proses seleksi peserta juga relatif sangat longgar, jadi besar kemungkinan salah sasaran. Ashabul mengaku telah membaca hasil investigasi yang dilakukan Agustinus Edy Kristianto, mantan direktur Yayasan LBH Indonesia sekaligus jurnalis senior. Dalam investigasnya Agustinus mencoba mendaftarkan diri dalam program Kartu Pra Kerja. Ia mengisi data sebagai wiraswasta, bukan korban PHK.
“Malah jika datanya diverifikasi lebih jauh, ia merupakan pemegang saham perseroan. Anehnya Agustinus tetap diloloskan,” sesalnya.
Keempat, ia meragukan efektifitas model pelatihan online. Ia menilai pelatihan secara online akan menimbulkan persoalan baru, misalnya bagaimana dengan pekerja informal atau buruh yang gagap teknologi? Sebab, tidak semuanya pun punya laptop atau smartphone untuk mengikuti pelatihan berbasis online tersebut. Belum lagi ketersediaan kuota internet, hingga masalah jaringan di daerah-daerah pelosok.
“Jika program ini tidak efektif dalam prosesnya, para peserta tidak akan memperoleh dampak maksimal. Akibatnya, uang negara akan menguap tanpa jejak,” tuturnya.
Kelima, ia mempertanyakan alumni pelatihan mau dikemanakan? Sebenarnya, sebut dia, harus merefleksikan ulang alasan utama Program Kartu Pra Kerja dihadirkan. Program ini adalah salah satu strategi yang ditawarkan Pemerintahan Jokowi untuk mengurangi pengangguran. Program ini juga hanya tepat pada saat normal.
Saat ini, ketika pandemi Covid-19 menghantui setiap orang, kebutuhan utama masyarakat saat ini adalah pemenuhan kebutuhan dasar untuk bertahan hidup. Apalagi ekonomi sedang lesu, perusahaan sedang melakukan efisiensi besar-besaran, bahkan hingga merumahkan/ PHK karyawan secara besar-besaran.
Betapapun alumni Program ini nanti terampil, tambahnya, namun mereka takkan mampu terserap di dunia kerja, setidaknya hingga Covid-19 berakhir.
“Bukankah dengan demikian program ini menjadi mubazir? Jika ingin menolong warga, jangan menggunakan kemasan ‘kartu pra kerja’, berikan saja bantuan sosial. Makanya, saya menyarankan, kita tunda saja program ini hingga Covid mereda,” pungkasnya. (Bie)
Editor: Bobby