Jakarta, JurnalBabel.com – Sistem proporsional terbuka dalam pemilihan umum (Pemilu) sebagaimana diatur dalam Pasal 168 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) memiliki derajat keterwakilan yang baik, karena pemilih bebas memilih wakilnya yang akan duduk di legislatif secara langsung dan dapat terus mengontrol orang yang dipilihnya.
Demikian disampaikan oleh Anggota Komisi III DPR Supriansa dalam sidang kelima uji materiil UU Pemilu di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (26/1/2023).
Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Pemilu ini diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.
Para Pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945.
Supriansa yang mewakili DPR mengatakan, sistem proporsional terbuka Pemilu wajib menjamin tersalurkannya suara rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sebagaimana diamanatkan pula dalam Pasal 22E ayat (1) UUD RI 1945.
Menurutnya, Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu mewujudkan cita-cita hukum tersebut serta Pemilu diharapkan dapat lebih menjamin prinsip keterwakilan. Artinya, lanjutnya, setiap warga negara Indonesia dijamin memiliki wakil yang duduk di lembaga perwakilan yang akan menyuarakan aspirasi rakyat.
“Sehingga pemilu yang terselenggara secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan wakil rakyat yang berkualitas dapat dipercaya dan dapat menjalankan fungsi kelembagaan legislatif secara optimal,” tegas Supriansa di hadapan Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi oleh delapan Hakim Konstitusi lainnya.
Menurut Supriansa, penyelenggaraan pemilu yang baik dan berkualitas meningkatkan derajat kompetensi yang sehat, partisipasi aktif dan keterwakilan yang makin kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Melalui sistem proporsional terbuka serta diaturnya frasa “tanda gambar partai politik, nomor urut parpol, dan nama calon anggota DPR dan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota pada pasal-pasal a quo UU pemilu yang diujikan oleh para pemohon justru telah memberikan kejelasan dan kesempatan yang luas terhadap masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilu.
“Diberlakukannnya sistem proporsional terbuka telah mengembalikan kedaulatan kepada rakyat untuk memilih secara langsung dan menentukan pihaknya terhadap caleg dengan suara terbanyak. Hal tersebut akan menciptakan suatu keadilan tidak hanya bagi anggota legislative melainkan juga bagi rakyat dalam menggunakan hak pilihnya meskipun ia tidak bergabung sebagai anggota parpol peserta pemilu,” urai Supriansa yang juga anggota badan legislasi (Baleg) DPR ini.
Tidak Bergantung Kebijakan Parpol
Dikatakan Supriansa, sistem proporsional terbuka akan menyebabkan pemenang seorang anggota legislatif tidak bergantung kepada kebijakan parpol peserta pemilu. Namun didasarkan kepada seberapa besar dukungan rakyat yang diberikan kepada calon tersebut.
Ketua Badan Advokasi Hukum dan HAM DPP Partai Golkar ini memaparkan MK melalui pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 telah memperkuat penerapan sistem proporsional terbuka dengan menyatakan bahwa Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan agar penyelenggaraan pemilu lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat yang seluas-luasnya atas prinsip demokrasi langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil harus menjadi landasan utama dalam penyelenggaraan pemilu. Selain itu, dapat menjadi landasan untuk mengembangkan dan mengimplementasikan dalam UU Pemilu agar penyelenggaraan Pemilu dapat dipertanggungjawabkan.
“Dengan demikian rakyat sebagai subyek utama dalam prinsip kedaulatan rakyat tidak hanya ditempatkan sebagai obyek pemilu dalam mencapai kemenangan semata. Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPR Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proposional terbuka. Adanya keinginan rakyat untuk memilih wakil-wakilnya yang diajukan oleh parpol dalam pemilu sesuai dengan kehendak dan keinginannya dapat terwujud harapan dan wakil rakyat terpilih tersebut juga tidak hanya mementingkan parpol tetapi mampu membawa aspirasi rakyat pemilih,” papar Supriansa.
Lebih lanjut Supriansa menambahkan dengan sistem proporsional terbuka rakyat secara bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif dan dipilih, maka akan sederhana dan mudah ditentukan siapa yang berhak terpilih, yaitu calon yang memperoleh suara terbanyak atau dukungan rakyat yang paling banyak.
“Dengan diberikan hak kepada rakyat secara langsung untuk memilih dan menentukan pilihannya terhadap calon anggota DPR, DPR Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dengan suara terbanyak di samping memberi kemudahan kepada pemilih dalam menentukan pilihannya juga lebih adil tidak hanya bagi calon anggota DPR atau DPRD tetapi juga bagi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya baik masyarakat yang bergabung sebagai anggota parpol maupun masyarakat yang tidak bergabung dalam parpol,” tegas Supriansa.
Sebagai informasi, permohonan Nomor 114/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Pemilu diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono. Para Pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945.
Saat sidang pendahuluan di MK pada Rabu (23/11/2022), para Pemohon mendalilkan berlakunya norma-norma pasal tersebut yang berkenaan dengan sistem pemilu proporisional berbasis suara terbanyak, telah bermakna dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik dan tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik.
Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik namun mewakili diri sendiri. Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.
Selain itu, menurut Pemohon bahwa pasal-pasal a quo telah menimbulkan individualisme para politisi, yang berakibat pada konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik yang bersangkutan. Sebab, proporsional terbuka ini dinilai melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas dengan menempatkan kemenangan individual total dalam pemilu. Mestinya kompetisi terjadi antarpartai politik di area pemilu. Sebab, peserta pemilu adalah partai politik bukan individu seperti yang termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.
Para Pemohon dirugikan karena pasal-pasal tersebut mengatur sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak karena telah menjadikan pemilu menjadi berbiaya sangat mahal dan melahirkan masalah yang multikompleks. Sistem proporsional terbuka dinilai Pemohon menciptakan model kompetisi antarcaleg dalam pemilu yang tidak sehat karena mendorong caleg melakukan kecurangan termasuk dengan pemberian uang pada panitia penyelenggara pemilihan, sehingga apabila pasal-pasal a quo dibatalkan akan mereduksi praktik politik uang dan membuat pemilu lebih bersih, jujur, dan adil.
Di samping itu, sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak ini juga berbiaya tinggi sehingga memakan biaya yang mahal dari APBN, misalnya membiayai percetakan surat suara untuk pemilu anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota. Selain itu, para Pemohon dalam petitumnya meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “terbuka” pada Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. (Bie)
Sumber: mkri.id