Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi VII DPR, Sartono Hutomo, mengusulkan izin operasional PT Gunbuster Nickel Industri (GNI) di Morowali Utara, Sulawesi Tengah, dicabut sementara.
Pasalnya, kata dia, saat Komisi VII DPR berkunjung ke PT. GNI, banyak peralatan yang tidak sesuai standar Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Lingkungan (K3L). Selain itu, pekerja juga tidak dibekali alat pelindung diri (APD) lengkap yang sesuai standar K3L, serta keahlian kerja.
“Stop dulu harus diadakan audit dan evaluasi terlebih dahulu,” kata Sartono saat dihubungi, Selasa (17/1/2023).
“Perusahaan harus berkomitmen melaksanakan prosedur K3. Jangan sampai hanya diterapkan ketika ada pengawasan saja,” tambah Sartono.
Untuk itu, dia mendesak agar aparat penegak hukum mengaudit dan investigasi mendalam terhadap perusahaan milik pengusaha China itu.
“Jangan karena kita membutuhkan Investor untuk masuk ke Indonesia, lalu kita menomor sekiankan standarisasi, kualitas serta aturan yang sudah ada,” jelasnya.
Dengan demikian, Sartono berharap kejadian seperti kebakaran smelter PT. GNI yang menewaskan dua orang pada Desember 2022 itu tidak terulang lagi.
“Pemerintah harus benar-benar serius dengan kualitas yang tinggi. Sehingga kejadian seperti ini tidak perlu terjadi,” tegasnya.
Selain itu, politisi Partai Demokrat ini juga menyampaikan sudah mengusulkan kepada pimpinan Komisi VII untuk memanggil pihak PT. GNI.
“Kami sudah usulkan ke pimpinan Komisi VII agar segera memanggil PT. GNI,” pungkasnya.
Sebelumnya, sebuah tungku di fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) bijih nikel menjadi Nickel Pig Iron (NPI) di Morowali Utara, Sulawesi Tengah, meledak dan terbakar pada pekan lalu, tepatnya pukul 03.00 WIB Kamis dini hari (22/12/2022).
Akibat kejadian itu, dua karyawati operator alat berat di smelter tersebut dikabarkan menjadi korban meninggal dunia.
Adapun perusahaan pengelola smelter nikel tersebut yakni PT Gunbuster Nickel Industry (GNI).
PT GNI ini merupakan pemegang Izin Usaha Industri (IUI), sehingga kewenangan pengawasan berada pada Kementerian Perindustrian, bukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
(Bie)