Jakarta, Jurnalbabel.com—Dalam lanskap industri budaya digital yang dinamis, pesan-pesan di media sosial lebih dari sekadar ekspresi, mewujudkan nilai ekonomi sebagai komoditas melalui prinsip monetisasi dengan cermat oleh pembuat konten untuk mengumpulkan pengikut. Hal inilah yang menjadi perhatian tim peneliti dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana dan Universitas Mercu Buana dalam penelitian berjudul The Representation of The Cultural Crisis in Social Media as a New Economic Reality in The Culture Industry.
Tim peneliti yang dipimpin Prof. Dr. Ahmad Mulyana, M.Si yang juga Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Mercu Buana, menganalisa isi secara kualitatif konten-konten kedua pesohor media sosial; yaitu Bunda Corla dan Nikita Mirzani.
Dengan menggunakan rancangan desain paradigma kritis, penelitian ini berusaha membongkar cara kerja ideologis di balik konten digital dengan format kekerasan verbal yang berpotensi merusak tatanan norma-norma dan nilai-nilai budaya masyarakat.
“Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengidentifikasi krisis budaya seperti pengabaian spiritual dan pencemaran ruang batin dalam realitas penggunaan bahasa yang tidak sopan dan vulgar di media sosial,” kata Mulyana.
Hasil penelitian yang diterbitkan oleh Journal of Theoretical and Applied Information Technology ini menunjukkan bahwa bahasa vulgar di platform seperti Bunda Corla dan Nikita Mirzani mencakup kategori kata-kata kotor, rasisme, konten eksplisit, pelecehan, dan cyberbullying menunjukkan sifat konten yang beragam dalam lanskap budaya digital.
Produksi konten seperi itu secara signifikan memengaruhi ekonomi dan budaya masyarakat, berkembang seiring dengan kemajuan teknologi teknologi dan pergeseran trend konsumen. Seluruh praktik industri budaya mentransfer motif keuntungan secara vulgar ke dalam bentuk budaya. Sejak bentuk-bentuk budaya ini pertama kali mulai mencari nafkah bagi para kreatornya sebagai komoditas di pasar, mereka telah memiliki kualitas ini.
“Industri budaya memiliki peran penting penting dalam menciptakan konten yang mencerminkan keanekaragaman budaya dengan kepekaan dan dan adil. Tantangannya adalah menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial untuk tidak menjurus pada krisis budaya,” tambah Dekan Fikom UMB ini.
Mulyana mengingatkan pentingnya etika dan kesadaran budaya kesadaran budaya. Penggunaan bahasa yang etis dan kesadaran akan konteks budaya sangat penting untuk membuat pesan-pesan yang menarik dan menghibur namun tetap menghormati nilai-nilai budaya kesopanan.
Selain Prof.Dr. Ahmad Mulyana, M. Si. (UMB)Sebagai ketua tim, penelitian ini terdiri dari Dewi Sad Tanti, M. Ikom (UMB), Dr. Aminah Swarnawatiari, M. Si., (UMJ) dan Dr. Irmulansati Tomohardjo (UMB), M. Si. (sfn)
Reporter : Dudi Hartono