Jakarta, JurnalBabel.com – Ahli hukum pidana Suparji Achmad menyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) salah mengartikan ketentuan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Menyusul, lembaga antirasuah itu menghentikan 36 perkara dalam tahap penyelidikan di era kepemimpinan Firli Bahuli cs.
Pasal 40 ayat (1) UU KPK berbunyi “KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.”
“Selama masih ditangani, semestinya itu tidak kemudian dihentikan. Menurut saya salah memaknai tentang pasal tersebut,” ujar Suparji Achmad di Jakarta, Kamis (20/2/2020).
Alasan KPK menghentikan 36 perkara disebabkan tidak terpenuhinya syarat untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan. Perkara yang dihentikan berasal dari proses penyelidikan yang dimulai sejak 2011, 2013, 2015 hingga 2020 terkait dugaan korupsi oleh kepala daerah, BUMN, aparat penegak hukum, kementerian/lembaga, dan DPR/DPRD
Menurut Suparji, seharusnya kewenangan dapat mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan atau SP3 seperti yang diatur dalam UU KPK yang dimiliki KPK bukan mempermudah menghentikan suatu perkara, tetapi lebih kepada mempercepat memproses penyidikan. Bukan justru menjadi pembenaran lalu mengulur-ulur penanganan kasus. Pada akhirnya dikeluarkan SP3.
Padahal sebut Suparji tujuan diberikannya kewenangan SP3 kepada KPK agar ada kepastian hukum serta tidak bertentangan dengan HAM. “Ini menurut saya yang menjadi ruang tidak sesuai dengan proses hukum yang ideal. Maksudnya, orang dengan batasan dua tahun itu, menjadi suatu kemudahan untuk membuka SP3 dengan pola itu di ulur-ulur,” katanya.
Lebih lanjut Ketua Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia ini berpandangan kewenangan SP3 dalam UU KPK yang baru menjadi dilema bagi KPK. Sebab itu, Suparji meminta ketentuan dalam Pasal 40 UU KPK ini perlu ditinjau kembali karena ternyata menjadi semacam kemudahan dalam proses suatu perkara dan menjadi suatu instrumen untuk mempercepat proses penyelesaian suatu perkara.
“Harapannya kan dulu itu (SP3) untuk kepastian mempercepat. Nyatanya malah seperti ini,” pungkasnya menyesalkan. (Bie)
Editor: Bobby