Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Nasional Demokrat (FNasDem) Hillary Brigitta Lasut menyatakan partainya akan mendorong Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemasyarakatan disahkan menjadi UU dalam waktu dekat. Pasalnya, RUU ini merupakan peninggalan anggota DPR periode 2014-2019.
“Secara partai kita akan gol kan. Bagaimana menghadapi over capacity,” kata Hillary Brigitta Lasut di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (22/10/2019).
Anggota DPR termuda periode 2019-2024 ini mengambil contoh banyaknya suami istri tidak bisa melakukan hubungan intim di dalam jeruji besi, sehingga suaminya menjadi homoseksual. Sebab itu, Hillary meminta lembaga pemasyarakatan (Lapas) maupun rumah tahanan (Rutan) difasilitasi bilik asmara atau ruang/tempat berhubungan intim bagi narapidana yang sudah sah berkeluarga.
Menurut politisi asal daerah pemilihan Sulawesi Utara ini, pungli banyak terjadi dilakukan petugas Lapas kepada pihak keluarga narapidana dengan tidak adanya bilik asmara. Contoh kasus, bilik asmara di Lapas Sukamiskin yang dibangun suami dari Inneke Koesherawati, Fahmi Darmawansyah yang tersangkut kasus korupsi Bakamla. Bilik tersebut pun disewakan dengan tarif sekitar Rp 300-650 ribu sekali cek in.
Kembali pada narapidana yang homoseksual, ODHA di dalam Lapas. Apakah perlu dipisah dengan narapidana yang normal, Hillary menilai tidak perlu karena terlalu rumit makan anggaran. “Kita coba implementasikan nilai-nilai kemanusian agar tidak terjadi kekacauan,” ujarnya.
Over capacity solusinya menurut Hillary bukan dengan membangun Lapas/Rutan baru. Tetapi dengan mengganti hukuman pidana dengan sanksi penarikan aset atau memiskinkan, sanksi sosial dan lainnya. Putri dari Bupati Kepulauan Talaud ini mengambil contoh kasus pemakai narkoba. Dimana 60 persen narapidana kasus pemakai narkoba.
“Siapain dong UU Pengguna direhabilitasi. Jangan yang miskin dipenjara yang kaya di rehap,” tegasnya.
Hillary menambahkan bahwa hukuman pemidanaan ini sebenarnya menjadi pilihan terakhir. Apabila memang pengguna narkoba, maka harua di rehap. Sementara bandar memang harus di pidana. “Kalau kita pidana itu sebenarnya pilihan terakhir. Kalau di rehap, tidak menjadi napi, tapi pasiem yang harus direhap,” pungkasnya. (Joy)
Editor: Bobby