Jakarta, JurnalBabel.com – Pembentukan Tim Pemburu Koruptor (TPK) yang digagas Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD dianggap menjadi wacana brilian karena pemerintah dinilai serius menangkap para buronan koruptor.
Ide mengaktifkan kembali tim yang dibuat pada era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini dilontarkan Mahfud usai ia mengantongi Instruksi Presiden (Inpres). Tim pemburu ini diragukan karena muncul setelah ada kepuasan pemerintah menangkap buronan pembobol kas BNI senilai Rp 1,2 triliun Maria Pauline Lumowa di Serbia belakangan ini.
Anggota Komisi III DPR, Hinca Panjaitan, mengkritik kemunculan TPK karena memiliki tugas yang sama dengan KPK. Selain itu, hadirnya tim ini juga dinilai hanya temporal karena dibentuk setelah pemerintah merasa kecolongan atas lolosnya ‘buronan tua’ Djoko Tjandra masuk ke Indonesia.
Menurut Hinca, pemerintah seolah menganggap pekerjaan memburu koruptor baru akan aktif setelah ada perintah Presiden, atau kembali bereaksi jika ada peristiwa yang ‘menampar muka’ pemerintah sendiri, seperti kasus Joko Tjandra tersebut. Hal ini amat disayangkan karena pemerintah baru serius ketika sudah ‘ketinggalan kereta’.
“Saya mau kritik pemerintah ini, kita protes, tugas menangkap koruptor itu tugas sehari-hari, tidak karena harus ada inpres, baru jalan. Kesalahannya di situ,” kata Hinca di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/7/2020).
“Menangkap buronan bukan lah tugas yang sunah, boleh ya boleh tidak, (tapi) itu wajib. Tiap hari 24 jam, kapan aja kau tangkap itu,” tambahnya lagi menegaskan.
Politikus Partai Demokrat ini memandang tak ada korelasi penting soal terbitnya inpres untuk menggalakkan perburuan koruptor. Justru, kata dia, ketika sudah diketahui terjadi peristiwa korupsi, mencari dan menangkapnya menjadi tugas yang melekat bagi instansi berwenang semisal KPK.
“Lalu kau harus bentuk inpres lagi? Sudah padam itu api baru kau cari lagi pemadam kebakarannya, ini lelucon,” ujarnya.
Ia tak habis pikir mengapa pemerintah tak mengandalkan beberapa lembaga aparat penegak hukum yang sudah tersedia. Seolah tak ada yang namanya Polri, Kejaksaan, dan KPK untuk difungsikan sebagai aparat pemburu koruptor, pemerintah malah membuat instrumen lain yang justru berpotensi menimbulkan tumpang tindih wewenang.
“Ini reaktif yang tak perlu,” katanya.
Soal tim pemburu ini, sebelumnya juga sudah mendapat sorotan dari Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno. Ia menilai pengaktifan kembali TPK tidak akan efektif. Alasannya senada dengan Hinca, sudah terlalu banyak instrumen penegak hukum yang menangani kasus korupsi.
“Keberadaan TPK, kata Adi, sudah tidak diperlukan lagi karena KPK selama ini sudah kuat untuk memberantas korupsi, termasuk menangkap koruptor. Sebelum dipimpin Komjen Pol Firli Bahuri, kata dia, KPK sudah sering membongkar kasus-kasus besar yang menyeret para elite, pejabat negara, dan politikus ke meja hijau.
“Terlampau banyak instrumen penangkap koruptor justru tidak efektif. Cukup komisioner dan penyidik (KPK) yang sudah ada,” katanya pada Jumat, 10 Juli lalu.