Oleh: Martin da Silva, Pr
HASIL Asesmen Nasional (AN) tahun 2021 menampakan hasil pendidikan agama di sekolah tidak sejalan dengan penghargaan terhadap kemanusiaan. Indeks iman, takwa dan aklak mulia peserta didik tinggi namun penghargaan terhadap Kebhinekaan masih rendah dan perundungan, kekerasan seksual masih tinggi (Kompas 26 April 2022).
Riset ini melukiskan raut anak-anak Indonesia yang muram dan dilema. Kondisi ini menggambarkan belum terintegrasinya iman dan aklak mulia peserta didik.
Dengan kata lain, hasil pendidikan agama dan perilaku penghargaan terhadap kemanusiaan peserta didik tidak sejalan. Artinya, pendidikan agama bukan mempromosikan humanisasi melainkan dehumanisasi.
Para pemangku kebijakan pendidikan kiranya tidak menutup mata pada kondisi real ini. Sekurang-kurangnya, mempertanyakan indikator dan metode yang digunakan dalam Asesmen Nasional. Selanjutnya, mengangkat hasil penelitian itu jadi bahan refleksi serius untuk memperbaiki kondisi yang mengkuatirkan tersebut.
Pertanyaan yang boleh diajukan, mengapa terjadi inkonsistensi pendidikan agama dan perilaku peserta didik? Ada apa dengan pendidikan agama di Indonesia?
Terbatasnya Guru Agama
Pendidikan agama penting untuk pembentukan iman dan karakter peserta didik. Namun keberadaan guru agama di sekolah-sekolah masih terbatas. Padahal bangsa Indonesia tergolong bangsa religius. Hal ini tercermin dalam sila pertama Pancasila, “Ketuhanan yang Maha Esa”. Akan tetapi, pelajaran agama di sekolah-sekolah cenderung kurang mendapat perhatian karena minimnya tenaga mengajar.
Data yang diolah LITBANG KOMPAS dari Pusat Layanan Simpatika, Kementerian Agama (22/4/2022) menampilkan kondisi terkini pendidik dan guru bimbingan masayarakat pendidikan agama masing-masing agama.
Pertama, agama Islam. Jumlah sekolah 89.737, jumlah pendidik dan guru bimas 800.206, pendidik aktif 784.447 sedangkan pendidik tidak aktif 15.759. Rasio sekolah dengan pendidik aktif 1:8,7.
Kedua, agama Kristen. Jumlah sekolah 27.360, jumlah pendidik dan guru bimas 39.240, pendidik aktif 21.072 sedangkan pendidik yang tidak aktif 18.168. Rasio sekolah dengan pendidik aktif 1:0,8.
Ketiga, agama Katolik. Jumlah sekolah 13.073, jumlah pendidik dan guru bimas 17.117, pendidik aktif 10.549 sedangkan pendidik tidak aktif 6.568. Rasio sekolah dengan pendidik aktif 1:0,8.
Keempat, agama Hindu. Jumlah sekolah 5.306, jumlah pendidik dan guru bimas 8.876, pendidik atif 4.121, sedangkan pendidik tidak atif 4.755. Rasio sekolah dengan pendidik aktif 1:0,8.
Kelima, agama Buddha. Jumlah sekolah 1.277, jumlah pendidik dan guru bimas 1.421, pendidik aktif 89, sedangkan pendidik tidak aktif 1.332. Rasio sekolah dengan pendidik aktif 1:0,1.
Dari data yang dipaparkan terebut kita harus jujur bahwa guru agama di sekolah-sekolah masih terbatas. Bisa kita lihat dari jumlah sekolah yang ada pendidikan agama secara keseluruhan tidak sebanding dengan jumlah pendidik/guru bimas. Jumlah sekolah untuk pendidikan agama secara keseluruhan 136.753, dengan perincian; agama Islam sebanyak 89.737, agama Kristen 27.360, agama Katolik 13.073, agama Hindu 5.306, dan Buddha 1.277.
Jumlah pendidik/guru bimas secara keseluruhan 866.860; agama Islam pendidik aktif 784.447, tidak aktif 15.759; agama Kristen pendidik aktif 21.072, tidak aktif 18.168; agama Katolik pendidik aktif 10.549, pendidik tidak aktif 6.568; agama Hindu pendidik aktif 4.121, tidak aktif 4.755; agama Buddha pendidik aktif 89, tidak aktif 1.332.
Jika dihitung jumlah pendidik aktif mengajar agama di sekolah-sekolah sampai sekarang berjumlah 820.278 pendidik/guru bimas; agama Islam pendidik aktif 784.447, agama Kristen pendidik aktif 21.072, agama Katolik pendidik aktif 10.549, agama Hindu pendidik aktif 4.121 dan agama Buddha pendidik aktif 89.
Mari kita fokus pada pendidik/guru bimas yang aktif. Jumlah sekolah yang menerapkan pendidikan agama 136.753 sedangkan jumlah guru yang aktif masing-masing agama berjumlah 820.278. Bila jumlah pendidik/guru bimas yang aktif dibagikan masing-masing sekolah-sekolah yang ada pendidikan agama, maka masing-masing sekolah kira-kira mendapatkan lima pendidik/guru bimas.
Pembagian pendidik ini secara keseluruhan tidak dibagi berdasarkan sekolah-sekolah dari masing-masing agama. Kalau pendidik/guru bimas dibagi berdasarkan masing-masing agama sangat tampak agama-agama tertentu memiliki kekurangan pendidik agama.
Oleh karena itu, pemegang kebijakan-kebijakan pendidikan baik di tingkat daerah atau pusat memikirkan secara serius untuk merekrut pendidik agama yang kompoten. Sebab, nilai-nilai dalam pendidikan agama merupakan jantung dalam pendidikan karakter peserta didik.
Apa jadinya, kalau jantung tersebut tidak berfungsi dengan baik? Karakter peserta didik pasti kerdil, tidak berkembang, terombang ambing dan kelak mudah dihasut dan diprovokasi oleh media dan sesamanya.
Amanat Undang-undang
Pasal 12 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan dengan jelas bahwa, setiap peserta didik pada satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
Amanat ini seperti gema gong yang ditabuh di malam hari. Gemanya sesaat namun cepat juga menghilang di tengah kegelapan malam. Barangkali ditelan kegelapan hati pemerintah daerah yang minim mengajukan formasi guru agama. Apalagi informasi berembus bahwa daerah-daerah tertentu tidak menyediakan formasi guru agama dalam seleksi Aparatur Sipil Negara (ASN) berstatus Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) tahun 2021.
Sementara, penambahan peserta didik di satuan pendidikan makin tahun makin bertambah. Akibatnya, ada beberapa sekolah negeri mengkondisikan peserta didik belajar agama walau tidak sesuai keyakinannya. Kebijakan ini sangat berbahaya sebab usia peserta didik masih labil, bisa menimbulkan kebencian pada agama yang dianutnya.
Mengapa pemerintah daerah minim mengajukan formasi guru agama? Media melansir bahwa kegalauan pemerintahan daerah merekrut pendidikan agama sebagaimana diamanatkan undang-undang karena dualisme status pendidik agama. Dualisme ini tampak dari kementerian yang menaungi formasi pendidik agama, yaitu Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Dualisme ini mengakibatkan kebingungan dan keraguan dalam mengambil kebijakan untuk merekrut tenaga pendidikan agama di masing-masing daerah. Dualisme status pendidikan agama itu wajib lekas dipecahkan.
Promosi Humanisasi
Demi mempromosikan pendidikan agama sebagai jalan humanisasi, pemegang kebijakan dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah segera memutuskan kementerian mana yang bertanggung jawab terhadap formasi pendidik agama ini sehingga tidak mengorbankan potensi dan karakter peserta didik. Apalagi Peraturan Menteri Agama Nomor 16 tahun 2010 telah menjelaskan bahwa usulan guru agama merupakan kewenangan Kemenag atau Pemda.
Sangat disayangkan sistem dan mekanisme dalam dualisme kebijakan itu dibiarkan sehingga membelenggu dan merobohkan karakter peserta didik karena keterbatasan pendidik agama.
Apalagi Hasil Asesmen Nasional menunjukan bahwa di sekolah ternyata penghargaan terhadap kebinekaan (toleransi pada keberagman masih rendah), sementara perundungan dan kekerasan seksual masih tinggi.
Pendidikan agama yang seharusnya membuat peserta didik mengasihi dan mencintai Tuhanya dan akan nampak dengan perilaku mencintai sesamanya, tapi malah ajang mempromosikan dehumanisasi. Pemerintah harus membuka mata pada persoalan peserta didik ini bukan hanya fokus memberi bantuan dan mendirikan ruang-ruang doa di sekolah-sekolah. Tenaga pendidik agama harus segera ditambahkan, tentu yang memiliki komitmen dan kompetensi.
Kebijakan Pemda
Data yang diperoleh dari Kemendikbudristek, sekolah-sekolah negeri membutuhkan 350.000 pendidik agama sesuai agama peserta didik. Saat ini tersedia sekitar 107.000 pendidik agama berstatus PNS. Dengan demikian, masih dibutuhkan kira-kira 242.000 pendidik agama berstatus ASN (Kompas, 25 April 2022).
Dari informasi ini, masing-masing pemda boleh mengajukan formasi pendidik agama supaya kekurangan tenaga pendidik agama bisa tercukupi.
Tentu dengan mendamaikan dualisme pengaturan pendidik agama yang berimbas pada kewenangan mengangkat ASN PPPK. Akan lebih baik bila pendidik agama dikelola oleh Kemenag dengan dukungan moral dan anggaran sehingga pemda tidak galau berkaitan dengan sumber gaji pegawainya. Biarlah Pemda fokus pada tanggungjawab dan kebijakan lain yang membutuhkan perhatian yang lebih dari pemerintah. Masih banyak persoalan akut lain yang harus segera ditangani Pemda.
Meretas dualisme kebijakan pengaturan pendidik agama boleh jadi menjadi jawaban atas fakta-fakta yang ditemukan di sekolah yaitu terjadi inkonsistensi pendidikan agama dan perilaku peserta didik. Barangkali ada begitu banyak faktor lain menyebabkan rendahnya penghargaan terhadap kemanusiaan dan tingginya perundungan dan kekerasan seksual.
Faktor yang turut mempengaruh adalah minimnya pendidik agama di masing-masing sekolah dan masing-masing agama di sekolah. Mari rekrut pendidik agama yang memiliki komitmen dan kompetensi.