Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PKS, Amin Ak, mengingatkan komitmen Menteri BUMN Erick Thohir untuk membenahi tata kelola BUMN dengan menerapkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG).
GCG merupakan prinsip-prinsip yang mendasari suatu proses dan mekanisme pengelolaan perusahaan berlandaskan peraturan perundang-undangan dan etika berusaha.
Prinsip-prinsip GCG yang meliputi Transparansi, Akuntabilitas, Pertanggungjawaban, Independensi/Kemandirian dan Kesetaraan sejauh ini masih menjadi ‘pelajaran’ yang dihafal belum menjadi tata kelola yang dilaksanakan dengan baik.
Menurut Amin, implementasi GCG di BUMN jauh panggang dari api. Indikator sederhananya bisa dilihat dari berbagai masalah akut yang terjadi di tubuh BUMN seperti kasus-kasus korupsi, banyaknya BUMN yang rugi, besarnya utang dan kesulitan likuiditas.
Contoh lainnya yakni belum tuntasnya kasus mega skandal Jiwasraya, penyuapan oleh direksi PT PAL, dan masih banyak lagi kasus korupsi yang terungkap. Yang terbaru misalnya, temuan yang diduga pemberian upeti dari PT Dirgantara Indonesia kepada sejumlah pejabat publik sebesar Rp178 miliar.
Masyarakat juga dikejutkan dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di tubuh PT Garuda Indonesia. Padahal Juli 2020 lalu maskapai tertua di Indonesia itu menerima suntikan Rp8,5 triliun dana talangan dari APBN lewat mekanisme mandatory convertible bond ( MCB) atau obligasi wajib konversi.
“Artinya dana talangan tersebut secara otomatis nantinya akan menjadi tambahan penyertaan modal pemerintah ke PT Garuda Indonesia,” ungkap Amin dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (31/10/2020).
Amin juga menyoroti banyaknya penunjukan komisaris BUMN yang tidak berbasis kompetensi. Baik yang berasal dari Tim Sukses, rekomendasi Partai Politik maupun unsur lainnya. Jumlahnya juga melebihi kebutuhan. Misalnya Komisaris PT PLN (Persero) berjumlah 10 orang.
Ditambah lagi temuan Ombudsman, paling sedikit ada 397 orang yang duduk di kursi komisaris BUMN terindikasi rangkap jabatan dan 167 orang yang juga terindikasi hal yang sama duduk di kursi anak usaha.
“Hal tersebut menjadikan beban BUMN makin berat dan semakin jauh dari harapan untuk bisa mencapai tujuan pendiriannya,” katanya.
Dijelaskan anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR ini, sesuai dengan UU Perseroan Terbatas (PT), tugas dewan komisaris adalah memastikan bahwa tindakan eksekutif (dewan direksi) sudah sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG). Untuk menjalankan fungsinya dengan efektif, dewan komisaris diberi alat kelengkapan lainnya, seperti komite audit.
Selain UU, juga ada Peraturan Menteri BUMN PER-01/MBU/2011 yang mengatur perilaku BUMN dengan pedoman tata kelola BUMN. Aturan ini secara jelas telah mengatur bagaimana perusahaan negara harus dikelola sesuai prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keadilan.
“Untuk mengukur level GCG BUMN, setiap tahun mereka juga harus diaudit oleh konsultan independen GCG,” jelasnya.
Amin menambahkan, sebelum diangkat jadi direksi BUMN, setiap calon direksi BUMN harus menandatangani pakta integritas. Pakta integritas ini mengatur bagaimana perilaku direksi pelat merah dalam mengelola BUMN. Secara garis besar hal yang boleh dan tak boleh dilakukan dinyatakan secara eksplisit.
“Sayangnya, banyak oknum pejabat BUMN yang hanya menandatangani pakta integritas tapi mengabaikan prinsip-prinsip di dalamnya,” ujar mantan auditor tersebut.
Bahkan di era Menteri BUMN Erick Thohir, diterbitkan core values bagi seluruh Pejabat dan karyawan BUMN yaitu AKHLAK, yang merupakan akronim dari amanah, kompeten, harmonis, loyal, adaptif dan kolaboratif sebagai budaya baru BUMN.
Seperti dikatakan Menteri Erick, AKHLAK merupakan panduan bagi manajemen BUMN untuk dapat bekerja dengan benar demi kepentingan bangsa, bukan kepentingan pribadi atau kelompok.
“Semua aturan sudah ada dan bagus isinya, yang belum adalah penerapannya secara konsekuen,” pungkasnya. (Bie)