Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi II DPR Fraksi Demokrat, Ongku Parmonangan Hasibuan, menyatakan tidak perlu meributkan adanya pengungsi Rohingya masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2024 di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur.
Menurut Ongku, pengungsi tersebut sudah puluhan tahun mengusi dan menetap di tanah air, sehingga sudah seharusnya diberikan kewarganegaraan sebagai WNI. Hal ini kata Ongku sebagai wujud implementasi dari sila kedua Pancasila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”.
“Terlalu rewel lah kalau hanya satu orang Eks Rohingya yang sudah di Indonesia mengungsi sampai 17 tahun. Harusnya diberi kewarganegaraan saja, sebagai wujud sila kedua Pancasila,” kata Ongku saat dihubungi, Selasa (9/1/2024).
Kasus ini berawal dari seorang pengungsi Rohingya asal Myanmar masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2024 di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur.
Temuan tersebut terungkap usai Kantor Imigrasi Blitar melaporkan ke Bawaslu Tulungagung bahwa ada seorang pengungsi Rohingya bernama Mohammad Sofi yang tinggal di Kecamatan Ngunut. Setelah itu, Bawaslu melaporkan dan merekomendasikan temuannya ke KPU Tulungagung supaya data DPT Pemilu diperbaiki dengan mencoret nama Mohammad Sofi.
Mohammad Sofi dapat masuk ke DPT karena menunjukkan kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK) Indonesia ketika proses pencocokan dan penelitian (coklit). Diketahui, Mohammad Sofi diduga mengurus KTP dan KK secara ilegal sejak 2006. Identitas kependudukan Mohammad Sofi sebagai WNI telah dicabut usai keberadaannya terungkap saat terjaring operasi Tim Pengawasan Orang Asing (Timpora) di Tulungagung.
KPU Tulungagung telah menerima surat dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) terkait pencabutan kewarganegaraan Mohammad Sofi.
Selain Mohammad Sofi, seorang pengungsi Rohingya lain yang tinggal di Kecamatan Besuki, Kabupaten Tulungagung, Husen juga dicabut kewarganegaraannya dan dicoret dari DPT. Mohammad Sofi dan Husen telah tinggal di Kabupaten Tulungagung selama lebih dari 20 tahun. Husen sempat pula mempunyai KTP elektronik yang terbit pada tahun 2012. Nama Husen juga pernah masuk DPT sampai akhirnya terbongkar pada 2018 lalu.
WNA Punya 2 Paspor
Menurut Ongku, yang perlu diributkan itu soal ribuan imigran gelap asal China, baik melalui jalur sebagai TKA di perusahaan-perusahaan China di Indonesia, atau jalur gelap lainnya di komplek-komplek Pecinan di seluruh kota-kota di Indoesia.
Terutama yang garis pantai seperti Bagansiapi-api di Selat Malaka, Galang di Batam, Kapuk di Jakarta Utara, sampai ke lokasi-lokasi tambang di seluruh Indonesia.
“Saya ada beberapa orang kenalan yang jelas-jelas warga asing, bahasa Indonesia juga nggak bisa, tapi punya paspor Indonesia dan KTP Indonesia. Secara diam-diam dia masih memegang paspor negara asalnya,” ungkap Ongku.
Mantan Bupati Tapanuli Selatan ini berpandangan, kasus ini kompleks permasalahnya.
“Intinya di aparatur pemerintah yang ‘Lalai’ atau ‘sengaja abai’ dengan persoalan-persoalan seperti ini. Ini masalah dasarnya : moral/mental kita-kita sebagai anak bangsa, yang mengutamakan ‘uang’ dari segalanya,” terang Ongku.
Ongku pun pernah mesaksikan sendiri, ada pesawat jet pribadi datang dari Hongkong, mampir di salah satu negara ASEAN, kemudian landing di salah satu bandara di Indonesia. Tidak ada pemeriksaan imigrasi, tamu tersebut (swasta) langsung masuk ruang VIP. Kembali esok harinya juga lewat jalur VIP, terbang langsung ke Singapura, tanpa imigrasi.
“Saya tanya kawan saya yang jadi tuan rumahnya, dia bilang ‘yang begitu mah lazim pak, kita atur-atur saja’,” sebut Ongku.
Ongku menjelaskan, Pemerintah Kabupaten/Kota yang menerbitkan Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
“Tapi untuk efek jera, selayaknya aparat daerah yang memfasilitasi hal-hal seperti itu harus dihukum berat, sebagai ‘subversi atau penghianatan’ terhadap negara,” pungkas legislator asal dapil Sumatera Utara ini.
(Bie)