Jakarta, JurnalBabel.com – Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Bali menetapkan I Gede Ari Astina alias Jerinx (JRX) sebagai tersangka kasus dugaan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian terhadap Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada Rabu (12/8/2020). Jerinx ditahan 20 hari ke depan usai penetapan tersebut.
Ia dikenakan Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45A ayat (2) dan/atau Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan/atau pasal 310 KUHP dan/atau pasal 311 KUHP, dengan ancaman hukuman enam tahun penjara dan denda Rp1 miliar.
Awalnya, pada 13 Juni, penggebuk drum Superman Is Dead ini mengunggah pernyataan, “Gara-gara bangga jadi kacung WHO (Badan Kesehatan Dunia), IDI dan RS seenaknya mewajibkan semua orang yang akan melahirkan dites CV19 (COVID-19)”–kelak pernyataan ini diringkas menjadi “IDI kacung WHO.”
Selanjutnya ia menulis, “Sudah banyak bukti jika hasil tes sering ngawur, kenapa dipaksakan? Kalau hasil tesnya bikin stres dan menyebabkan kematian pada bayi/ibunya, siapa yang tanggung jawab?” Lantas dalam caption ia menulis, “Bubarkan IDI. Saya enggak akan berhenti menyerang kalian sampai ada penjelasan perihal ini.”
Namun alih-alih penjelasan, yang Jerinx terima adalah pelaporan. IDI tak terima pernyataan tersebut. IDI Bali mengadukannya ke polisi pada 16 Juni dengan nomor laporan LP/263/VI/2020/Bali/SPKT.
Menanggapi hal itu, Anggota Komisi III DPR, Rahmat Muhajirin, menyatakan saat ini sulit untuk membedakan mana yang menyatakan pendapat, mengkritik, cibiran, candaan maupun benar-benar pernyataan yang melanggar hukum. Pada akhirnya, semuanya itu perbedaannya sangat tipis sekali karena dengan adanya UU ITE ini.
Sebab itu, anggota badan legislasi (baleg) DPR ini mengusulkan dilakukan kajian yang komprensif dengan melakukan revisi UU ITE. Hal ini perlu dilakukan karena hak menyatakan pendapat dijamin UUD 1945.
“Makanya nanti saya kaji itu UU ITE. Karena UU ITE itu saya lihat itu tadi jadi perbedaannya tipis antara orang yang hanya menyatakan pendapat, menyindir, itu semua dihantam. Tergantung asumsi dan pengertian hukumnya,” kata Rahmat Muhajirin saat dihubungi, Jumat (14/8/2020).
Perhatikan Dua Hal
Dalam menangani kasus ini, politisi Partai Gerindra ini meminta pihak Polda Bali memperharikan dua hal. Pertama, apakah ada unsur niat jahat dari JRX memposting pernyataannya itu di media sosial miliknya.
“Setiap tindak pidana itu perlu ada unsur mens rea, ada niat berbuat jahat atau tidak kan. Itu juga harus dipertimbangkan,” ujarnya.
Legislator asal Jawa Timur ini menilai pernyataan JRX tersebut ada korelasinya dengan IDI. Misalnya kebijakan WHO harus dilaksanakan oleh IDI.
“JRX ini punya niat jahat nggak? Terus kita lihat nggak ada niat jahat, mungkin itu hanya cibiran. Makanya itu harus dilihat secara komperensif,” tegasnya.
Kedua, asas praduga tak bersalah harus dikedepankan. Pasalnya, tambah dia, bicara soal WHO, tidak hanya kasus JRX, negara-negara di dunia sudah tidak percaya dengan WHO.
“Akhirnya berita di luar itu sudah tidak percaya WHO, karena dianggap sebagai kepanjangan tangan investor,” pungkasnya.
(Bie)