Jakarta, JurnalBabel.com – Ketua Komisi VIII DPR, Ashabul Kahfi, menegaskan bahwa Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) bersama dinas terkait di pemerintahan daerah harus didukung secara maksimal.
Hal ini disampaikannya saat memberi sambutan pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) di Hotel Episode Gading Serpong Kabupaten Tangerang, Banten, Selasa, (13/9/2022).
Rakornas ini dibuka Menteri PPPA Bintang Puspayoga. Acara dihadiri Pemerintah Provinsi se-Indonesia, khususnya dinas yang membidangi pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
Mengawali pemaparannya, Ketua Komisi VIII DPR RI menguraikan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam tiga tahun terakhir.
Kekerasan pada anak tahun 2019, kata Kahfi, terjadi sebanyak 11.057 kasus, 11.279 kasus pada 2020, dan 12.566 kasus hingga data November 2021.
“Pada anak-anak, kasus yang paling banyak dialami adalah kekerasan seksual sebesar 45 persen, kekerasan psikis 19 persen, dan kekerasan fisik sekitar 18 persen. Kekerasan jenis lainnya pada anak berupa penelantaran, trafficking, dan eksploitasi ekonomi,” ungkap Kahfi.
Ia melanjutkan, kekerasan terhadap perempuan juga mengalami kenaikan dalam tiga tahun terakhir.
“Pada 2019 tercatat sekitar 8.800 kasus kekerasan pada perempuan, kemudian 2020 sempat turun di angka 8.600 kasus, dan kembali mengalami kenaikan berdasarkan data hingga November 2021 di angka 8.800 kasus,” urai legislator Daerah Pemilihan Sulsel 1 ini.
Jenis kekerasan yang dialami perempuan, lanjutnya, paling banyak adalah kekerasan fisik mencapai 39 persen, selain itu ada kekerasan psikis 29,8 persen, dan kekerasan seksual 11,33 persen.
“Untuk mengurangi angka kekerasan terhadap perempuan dan anak, KemenPPA dan dinas Pemda harus diberi dukungan maksimal,” ujar Anggota Fraksi PAN ini.
Kahfi memandang bahwa tingginya angka kekerasan berakar pada persoalan ekonomi, pendidikan, dan budaya.
“Pengamatan saya, kekerasan menjadi sarana pelampiasan ketidakberdayaan ekonomi. Demikian pula pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin kecil potensi seseorang untuk menjadi pelaku atau korban kekerasan. Di samping itu, ada kecenderungan budaya suatu bangsa yang sangat mempengaruhi tingkat kekerasan terhadap perempuan,” urainya.
Politisi Senior Fraksi PAN ini lalu mengutarakan strategi yang dianggapnya dapat mengatasi masalah kekerasan pada perempuan dan anak.
Pertama, dalam hal pencegahan, dapat dilakukan edukasi, sosialisasi, kampanye, penyadaran, dan sebagainya pada level keluarga, sekolah, dan jalanan.
“Strategi pencegahan juga dapat dilakukan dengan memastikan pembuatan regulasi atau SOP interaksi dengan orang lain, khususnya terhadap lawan jenis. Patut dipakai prinsip bahwa semua orang berpotensi khilaf, makanya harus dibuat sistem yang meminimalkan potensi khilaf,” jelasnya.
Kedua, dalam hal penanganan, Kahfi mendorong penguatan mekanisme laporan. Sebab, persoalan utama kasus kekerasan adalah minimnya keberanian melaporkan kasus.
“Pastikan juga sanksi menimbulkan efek jera. Selain sanksi hukum, perlu terus digalakkan sanksi sosial agar masyarakat tidak permisif terhadap pelaku kekerasan perempuan dan anak,” tegasnya.
Dirinya menambahkan bahwa DPR akan menjalankan fungsi secara maksimal dalam legislasi, pengawasan, dan penganggaran terkait perlindungan perempuan dan anak.
“Kebijakan negara tidak boleh memperbesar kesenjangan sosial dan diskriminasi. Rumuskanlah program yang bisa mengurangi angka kekerasan terhadap perempuan dan anak sebagaimana saya sampaikan di awal tadi. Program diutamakan pada pencegahan, tapi harus tetap responsif dalam penanganan,” pesannya.
(Bie)