Jakarta, JurnalBabel.com – Wakil Ketua Komisi III DPR, Pangeran Khairul Saleh, menilai program rehabilitasi baik medis maupun sosial bagi pengguna narkoba yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, penerapannya dalam proses hukum di Indonesia tidak sepenuhnya berjalan dengan baik.
“Banyak pecandu atau pengguna narkoba yang berakhir pidana di dalam lapas sehingga mengakibatkan over kapasitas lapas,” kata Khairul Saleh dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (11/9/2021).
Khairul Saleh mengambil contoh pada kasus kebakaran di Lapas Kelas I Tangerang, Banten pada Rabu (8/9/2021) yang merenggut 44 nyawa narapidana, dengan kondisi lapas tersebut mengalami kelebihan penghuni hingga 400 persen.
Kemudian Menteri Hukum dan HAM RI, Yasonna H. Laoly dalam konferensi pers pada 8 September 2021 menjelaskan bahwa salah satu penyebab banyaknya korban yang meninggal dunia adalah karena over kapasitas yang terjadi hampir di seluruh lapas di Indonesia dengan kejahatan narkotika yang mendominasi lebih dari 50% isi lapas termasuk Lapas Kelas I Tangerang.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pemasyakatan, jumlah narapidana tindak pidana narkoba sebanyak 136.030 dari 266.663 narapidana di seluruh Indonesia per 9 September 2021.
Dalam ketentuan UU Nomor 35 Tahun 2009, dimana pengguna narkoba dapat dikategorikan sebagai pecandu yaitu orang yang menggunakan atau yang menyalahgunakan narkoba dan dalam keadaan ketergantungan pada narkoba, baik secara fisik maupuan psikis dan berhak untuk mendapatkan atau mengakses rehabilitasi medis dan rehabilitas sosial.
Hak atas pemulihan kesehatan pengguna narkoba dari kecanduannya itu senada dengan ketentuan WHO yang mengategorisasikan adiksi (kecanduan) sebagai suatu penyakit kronis kambuhan yang dapat dipulihkan.
Dalam penerapannya, terdapat beberapa pasal dalam UU Narkoba yang sering digunakan penuntut umum, baik dalam dakwaan maupun tuntutan mulai dari pasal 111, 112, 114 dan 127 UU Narkoba.
Menurut Khairul Saleh, kecenderungan penggunaan pasal ini membawa pengaruh signifikan terhadap penempatan seorang pengguna narkoba di lembaga rehabilitasi, baik medis maupun sosial. Dapat atau tidaknya menjalani proses rehabilitasi pada tahap penyidikan dan penuntutan akan tergantung kepada proses asesmen yang dilakukan.
Lebih lanjut politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini memaparkan proses asesmen dilakukan oleh Tim Asesmen Terpadu yang terdiri dari Tim Hukum dan Tim Dokter. Melalui Tim Asesmen Terpadu akan ditentukan apakah seorang tersangka atau terdakwa penyalahguna narkoba sebagai pengedar atau pecandu narkoba dan melalui Tim Medis akan diuji kandungan serta tingkat keparahan pengguna narkoba.
Apabila berdasarkan pemeriksaan Tim Asesmen Terpadu diputuskan dapat menjalani rehabilitasi medis, maka tersangka atau terdakwa penyalahguna narkoba akan diserahkan ke lembaga rehabilitasi. Koordinasi antara penyidik atau penuntut umum dengan lembaga rehabilitasi medis dapat dilihat dari awal penyerahan, pelaksanaan, hingga penyerahan kembali kepada penyidik atau penuntut umum.
“Khusus untuk rehabilitasi yang dilaksanakan dengan rawat jalan, kewenangan menghadirkan tersangka atau terdakwa yang direhabilitasi ada pada lembaga yang menyerahkan (penyidik atau penuntut umum),” paparnya.
BNN Harus Proaktif
Khairul Saleh meminta para penegak hukum yang menangani kasus penyalahgunaan narkoba, dalam hal ini BNN, harus lebih proaktif untuk menanggulangi penyalahgunaan narkoba dengan melakukan asesmen terhadap tersangka atau terdakwa penyalahguna narkoba selama proses persidangan.
Hal diatas menurutnya untuk menentukan apakah tersangka atau terdakwa tersebut termasuk kedalam pengguna narkoba yang harusnya dilakukan rehabilitasi atau pengedar dan bandar yang harus di pidana di dalam lapas.
“BNN harus lebih banyak menyediakan tim asesor sendiri dibawah BNN dan membuat balai rehabilitasi BNN yang lebih banyak yang tersebar di seluruh Indonesia sehingga ada wadah atau tempat untuk rehabilitasi bagi pengguna narkoba,” katanya.
Legislator asal Kalimantan Selatan ini menegaskan bahwa Lapas merupakan akhir dari proses peradilan pidana. Penanganan over kapasitas di dalam Lapas perlu dilakukan dari awal proses peradilan. Asesmen bagi penyalahguna narkoba harus benar-benar dilakukan sehingga proses pemidanaan tepat pada sasaran.
“Penanganan yang tepat bagi pecandu dan pengguna narkoba adalah dengan rehabilitasi medis maupaun rehabilitasi sosial dan bukan ditahan di dalam lapas. Jika hal tersebut bisa dilakukan dengan baik, maka masalah over kapasitas di dalam lapas bisa berkurang,” pungkasnya.
(Bie)