Jakarta, JurnalBabel.com – Komisi III DPR menyoroti kalimat dalam Pasal 240 draf Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang diusulkan pemerintah, mencantumkan kata pemerintah yang sah.
Draf Pasal 240 RUU KUHP tersebut berbunyi “Setiap orang yang dimuka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintahan yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.”
Alasan pemerintah mencantumkan pasal tersebut berasal dari Pasal 154 UU KUHP tentang penghinaan terhadap Pemerintah. Pasal tersebut berbunyi “Barangsiapa menyatakan di muka umum perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap Pemerintah Republik Indonesia , dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun atau denda sebanyak-banyaknya lima ratus rupiah.”
Menurut Anggota Komisi III DPR Fraksi Golkar, Supriansa, Pemerintah tidak konsisten dalam menyusun kalimat dalam Pasal 240 RUU KUHP. Sebab, dalam Pasal 154 UU KUHP tidak ada kata pemerintah yang sah.
“Menyangkut konsistensi dalam penulisan, apakah yang benar ini pemerintah yang sah atau cukup dengan pemerintah. Karena ada kalimat pemerintah yang sah, maka akan menimbulkan pertanyaan berikutnya yang mana pemerintahan yang tidak sah,” kata Supriansa yang juga anggota badan legislasi (Baleg) DPR dalam rapat dengar pendapat Komisi III DPR dengan Wakil Menteri Hukum dan HAM, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (3/10/2022).
Anggota Komisi III DPR Fraksi Demokrat, Santoso, menambahkan RUU KUHP ini merupakan prodak yang dibuat untuk Indonesia, maka jangan membuat bahasa justru yang melecekan diri sendiri.
“Jadi kalau ada pemerintah yang sah, berarti di republik ini ada pemerintah yang tidak sah. Sehingga dengan sendirinya dalam prodak UU ini kita berpikir memiliki jangkauan bahwa nanti pada saat pelaksanaan UU ini direalisasikan ada 2 kutub, pemerintah yang sah dan tidak sah,” kata Santoso.
Sebab itu, anggota Baleg DPR ini meminta kata pemerintah yang sah dalam RUU KUHP dihilangkan.
“Karena sudah jelas yang dimaksud pemerintah yang memimpin negeri ini berdasarkan konstitusi, prodak Pilpres dan sebagainya,” tegasnya. (Bie)