Jakarta, JurnalBabel.com – Dalam rapat Komisi III DPR RI yang digelar pada Selasa (27/8/2024), agenda uji kelayakan 12 calon hakim agung dan hakim ad hoc HAM tahun 2024 harus ditunda.
Keputusan ini diambil setelah mencuatnya temuan bahwa dua calon hakim agung tidak memenuhi syarat formil sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Mahkamah Agung.
Rapat tersebut dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Pangeran Khairul Saleh, didampingi oleh Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman.
Dalam pengantar rapat, Pangeran menyampaikan bahwa dari hasil evaluasi dan data yang diterima, terdapat dua calon hakim agung yang tidak memenuhi persyaratan pengalaman profesi menjadi hakim.
Salah satu calon baru memiliki pengalaman delapan tahun, sedangkan yang lain baru 14 tahun, jauh dari syarat minimal 20 tahun yang ditetapkan dalam undang-undang.
“Untuk itu, kami menanyakan kepada anggota Komisi III yang hadir, apakah rapat kelayakan ini kita lanjutkan atau kita tunda?,” tanya Pangeran Khairul Saleh kepada para anggota komisi III.
Merespons pertanyaan tersebut, enam fraksi yang hadir, yakni Demokrat, Gerindra, PAN, PKS, PKB, dan Golkar, sepakat untuk menunda uji kelayakan hingga persoalan ini diklarifikasi lebih lanjut oleh Komisi Yudisial (KY).
Anggota Komisi III dari Fraksi Demokrat, Benny K. Harman, bahkan mengusulkan agar masalah ini dikembalikan kepada KY untuk diklarifikasi kembali.
“Saya setuju dengan Pak Wakil Ketua, pansel tidak boleh mengesampingkan undang-undang dengan alasan apa pun, termasuk diskresi,” tegas Benny.
Senada dengan Benny, anggota Komisi III dari Fraksi PKS, Muhammad Nasir Jamil, menyatakan bahwa Komisi Yudisial memiliki kewenangan sekaligus tanggung jawab untuk menjaga kehormatan dan martabat hakim.
Menurutnya, jika proses seleksi cacat, maka KY, disengaja atau tidak, telah merubuhkan upaya penegakan integritas tersebut.
Habiburokhman juga menekankan pentingnya ketelitian dalam memilih calon hakim agung.
Ia menyoroti bahwa masyarakat saat ini sangat kritis terhadap kinerja lembaga peradilan, terutama terkait kasus-kasus yang mencederai rasa keadilan, seperti kasus pembebasan terdakwa dalam kasus meninggalnya Dini Sera di Surabaya.
“Memilih hakim agung harus benar-benar cermat, seperti memilih ‘wakil Tuhan’ di muka bumi. Jangan sampai ada proses yang salah sedikit pun,” ujarnya.
Penundaan ini menunjukkan komitmen Komisi III DPR RI untuk memastikan bahwa calon hakim agung yang dipilih benar-benar memenuhi syarat dan memiliki integritas tinggi.
Keputusan ini diharapkan dapat menjaga kredibilitas lembaga peradilan dan kepercayaan masyarakat terhadap proses penegakan hukum di Indonesia.
Dengan ditundanya uji kelayakan ini, Komisi III akan menunggu klarifikasi dari Komisi Yudisial sebelum melanjutkan proses seleksi.
“Kami kira tidak ada masalah jika kita kembalikan kepada Komisi Yudisial, agar mereka menyodorkan calon hakim yang tidak menabrak aturan undang-undang,” kata anggota Komisi III, Supriansa, dalam penutup diskusinya.
Pasal 7 UU MA memang mengatur dengan ketat syarat-syarat untuk menjadi hakim agung, termasuk usia minimal 45 tahun, pengalaman profesi hukum paling sedikit 20 tahun, serta tidak pernah dijatuhi pidana atau sanksi disiplin.
Persyaratan ini dirancang untuk memastikan bahwa hakim agung yang terpilih adalah sosok yang benar-benar berpengalaman dan berintegritas tinggi.
Komisi III menegaskan bahwa proses pemilihan calon Hakim Agung harus sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa ada diskresi yang mengesampingkan ketentuan undang-undang.
Pemilihan Hakim Agung oleh DPR dilakukan dari nama-nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dan harus diselesaikan dalam waktu 14 hari setelah nama calon diterima oleh DPR.
Jika calon Hakim Agung telah dipilih oleh DPR, barulah mereka akan diajukan oleh Komisi Yudisial untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden dan dilantik di Istana Negara dengan disaksikan oleh Presiden.
Proses pemilihan yang cermat dan transparan diharapkan mampu menghasilkan Hakim Agung yang benar-benar memenuhi syarat dan mampu menjalankan tugasnya dengan baik, sesuai dengan amanah konstitusi dan harapan masyarakat.