Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi VI DPR Fraksi PKS, Amin Ak, mengaku sudah memprediksi bahwa kebijakan pemerintah melarang ekspor minyak sawit atau CPO tak akan bertahan lama.
Menurutnya, kebijakan Presiden Jokowi mencabut larangan itu terkesan emosional tanpa kajian dan tanpa pertimbangan matang.
Melalui akun Twitternya @Aminakram_, Jumat (20/5/2022), Amin menyebut larangan ekspor CPO tak memberi efek yang diharapkan di lapangan. Keinginan agar minyak goreng (migor) curah sesuai HET Rp 14.000 per liter akan berlimpah dan dinikmati rakyat tidak terealisasi. Harga migor curah tetap mahal, yakni sekitar Rp 18.000-20.000 per liter. Pun harga migor kemasan.
“Kebijakan larangan ekspor CPO malah berdampak buruk bagi perekonomian nasional. Devisa dan levy (pungutan) dari ekspor CPO hilang, petani sawit tak bisa jual panennya, harga TBS (tandan buah segar) anjlok, sementara konsumen CPO RI beralih ke Malaysia,” tulis Amin Ak.
Amin menjelaskan, dalam teori behaviour economics, pemerintah mengidap fashion syndrome, inkonsistensi kebijakan, bongkar pasang aturan terkait CPO dan migor. Tujuh aturan dalam rentang tujuh bulan.
“Tanpa keberanian dan keinginan kuat menegakkan aturan, semua itu hanya menghasilkan inkonsistensi dan pembangkangan stakeholder,” kata Amin Ak.
“Bahkan aturan yang dibuat pemerintah, dikhianati sendiri oleh mereka, terbukti dengan ditangkapnya sejumlah orang oleh Kejagung. Anehnya Panglima Tertinggi mengaku terkejut dan tidak tahu apa yang terjadi selama enam bulan krisis migor,” lanjutnya.
Amin menilai tanpa visi dan solusi yang jelas, krisis migor berpotensi terus berulang. Juga komoditas lain yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Tanpa konsistensi dan ketegasan pemangku kebijakan, rakyat akan terus jadi korban.
Menurutnya, ekspor tidak perlu dilarang asalkan kebutuhan migor murah (sesuai HET) untuk kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan pelaku usaha mikro terpenuhi. “Masa iya, pemerintah nggak bisa jamin ini?” ujarnya.
Amin mengatakan, kebutuhan migor curah untuk kedua kelompok masyarakat itu hanya 200 juta liter per bulan, atau nggak sampai 10 persen dari produksi CPO Indonesia. “Masa segini aja pemerintah kesulitan, ini ada apa sebenarnya?” ujarnya heran.
Ia melanjutkan, jika aturan tegas dan jelas mestinya produsen CPO dan migor tidak akan keberatan. Toh 90 persen produknya boleh dijual sesuai mekanisme pasar. Menurutnya, dari situ saja kan pasti untung. 10 Persen itu bagian dari social responsibility mereka.
“Negara harus hadir melindungi dan menjamin kebutuhan pokok rakyatnya. Semua instrumen untuk menegakkan itu, pemerintah punya. Kenapa lembek di hadapan oligarki sawit, ada apa?” katanya.
Strategi Atasi Krisis Migor
Amin kemudian mempertanyakan langkah pemerintah selanjutnya setelah larangan ekspor dicabut agar krisis minyak goreng berakhir dan tak berulang. Menurutnya, tanpa visi dalam menyelesaikan krisis ini, rakyat akan kembali dirugikan.
“Saya menyodorkan tiga strategi untuk menyelesaikan krisis migor. Intinya ada di pengendalian distribusi di dalam negeri secara terukur,” ujarnya.
“Saya juga mendorong BUMN Pangan lebih berdaya, saat ini hanya jadi liliput di hadapan oligarki sawit yang menguasai separuh lebih produksi CPO,” tambahnya.
Menurutnya, BUMN Pangan hanya menguasai 4 persen produksi dan 5 persen distribusi. Padahal sudah triliunan uang rakyat digelontorkan dalam penyertaan modal.
“BUMN harus rangkul petani sawit atau perkebunan rakyat. Bermitra dengan mereka secara profesional dan saling menguntungkan. Perkebunan rakyat menguasai 41 persen produksi, tapi mereka lebih nyaman jadi mitra swasta. Ada apa ini?” ungkap Amin.
Jika ingin menjadi penyeimbang, BUMN harus menguasai produksi CPO lebih besar. Bukan hanya untuk menyediakan migor curah sesuai HET, tapi juga biodiesel. “Selama ini subsidi besar-besaran untuk program mandatory biodiesel hanya dinikmati oligarki sawit, sementara BUMN hanya gigit jari karena tidak bisa bersaing,” katanya.
Amin membeberkan, sepanjang 2021 insentif biodiesel mencapai Rp 51,86 triliun untuk mendanai 9,18 juta kiloliter biosolar. Jika bisa berperan di biodiesel, bukankah BUMN bisa tetap nyari untung sembari menjamin kebutuhan rakyat dengan migor curah? “Saya berharap pemerintah mau berubah demi menjamin kebutuhan pokok rakyat,” pungkasnya.
Pemerintah kembali membuka keran ekspor CPO dan produk turunannya mulai 23 Mei 2022 mendatang. Keputusan itu diumumkan langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui keterangan resminya secara virtual, Kamis kemarin (19/5/2022).
Menurut Jokowi, pembukaan keran ekspor CPO dan minyak goreng didasarkan atas pengecekan di lapangan dan laporan sejumlah kementerian terkait dengan penurunan harga minyak goreng dan penambahan pasokan. (Bie)