Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Demokrat, Santoso, menyoroti sejumlah koruptor yang bebas bersyarat usai menjalani 2/3 masa pidana penjara. Mulai dari mantan Jaksa Pinangki Sirna Malasari hingga eks Menteri Agama Suryadharma Ali.
Ia mengajak publik memberikan sanksi sosial kepada para koruptor tersebut. Ia juga berharap parpol dan elite pemerintahan tak memberi ruang lagi bagi para koruptor untuk memberikan efek jera.
“Bagi para koruptor yang telah menjalankan hukumannya tentu mereka memiliki hak kembali ke masyarakat. Namun, para elite dan parpol jangan lagi menempatkan mereka pada jabatan-jabatan strategis di publik. Ini untuk menjadikan efek jera kepada para koruptor itu,” kata Santoso, Rabu (7/9/2022).
“Negara dan masyarakat harus memberi ruang terbatas agar pelaku koruptor tidak mudah begitu saja memasuki jabatan publik. Agar efek daya tangkalnya bagi yang tidak melakukan korupsi akan berpikir jauh karena hukuman sosialnya sangat besar,” imbuh dia.
Ia menekankan, Indonesia tidak akan menjadi lebih baik ke depan apabila para pelaku kejahatan besar dan merugikan rakyat banyak, termasuk koruptor, masih punya tempat di pemerintahan.
“Sudah sepantasnya diberi batasan jabatan oleh para penentu kebijakan/penguasa, parpol dan elite lainnya di mana anggarannya berasal dari negara. Karakter bangsa ini memang adalah bangsa pemaaf. Namun, sampai kapan sifat pemaaf ini terus diberikan kepada para koruptor jika tindakan koruptif dari bangsa ini tidak pernah hilang?” ujarnya.
Sementara itu, anggota Badan Legiskasi (Baleg) DPR ini mengatakan hakim memang memiliki posisi bebas merdeka atau independen dalam memutus suatu perkara berdasarkan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Tetapi, ia mengingatkan bebas merdeka tidak boleh sebebas-bebasnya dalam memutus suatu perkara berdasarkan interpretasi pribadi hakim. Menurutnya, kedudukan koruptor yang seharusnya menjadi contoh teladan masyarakat namun berujung korupsi, harus menjadi pertimbangan vonis pidana dan remisi.
Ia menyayangkan putusan hakim terkait vonis pidana yang cenderung jauh lebih rendah dari tuntutan jaksa kepada para koruptor tersebut. Adapun pemberian remisi yang membuat hukuman penjara bagi para koruptor semakin singkat.
“Statusnya baik sebagai aparatur negara/jabatan publik lainnya tapi malah korupsi. Salah satu putusan yang bertentangan dengan nurani masyarakat adalah terhadap terdakwa Pinangki yang diputus pengurangannya oleh hakim di Mahkamah Agung,” ujarnya.
Vonis Pinangki memang sempat jadi sorotan. Pengadilan Tipikor Jakarta sempat memvonis Pinangki 10 tahun penjara. Namun, Pengadilan Tinggi DKI kemudian justru memotong hukuman itu menjadi 4 tahun penjara. Sesuai tuntutan jaksa.
“Sebutan masyarakat bahwa para hakim adalah wakil tuhan di muka bumi sudah pudar karena banyak putusan yang bertolak belakang dengan keadaan sebenarnya. Masyarakat mengapresiasi putusan hakim yang adil bukan berdasarkan hukum saja, tapi juga berdasarkan tuntutan atas tindakan korupsi para pelaku yang merugikan keuangan negara,” ungkap dia.
Di sisi lain, ia khawatir pembebasan para koruptor yang tak adil membuat persoalan masyarakat lainnya meredup. Seperti penolakan kenaikan harga BBM.
“Berita pembebasan napi koruptor jangan sampai mengurangi apalagi mengalihkan tuntutan rakyat atas kenaikan BM bersubsidi,” pungkasnya. (Bie)